Quantcast
Channel: inside-monochrome
Viewing all 152 articles
Browse latest View live

Rusuh di #JapanAsik

$
0
0


RUSUH! RUSUH! RUSUH!

Cuma itu yang bisa aku katakan sebagai gambaran di trip #JapanAsik kali ini. Gimana ngga? Sepuluh orang dalam satu AirBnb dan tiga kota dalam satu negara. Bepergian rame-rame ngga akan terasa membosankan kalau ada satu atau dua orang "badut", buatku, "badut" di grup ini adalah Dwika dan Tebe. Ini pertama kalinya aku bepergian dengan mereka, jadi ngga nyangka aja kalau Tebe diam-diam menghanyutkan. Kenapa? Misalkan nih, Tebe diam-diam mengambil foto salah satu dari kami, lalu dia edit di handphonenya lalu diungga di whatsapp group, yang sering jadi targetnya sih Dwika. Uwuwuwuw, mereka mesra sekali.

Haeeee Tebeeee :3

Oh ya, di Osaka aku ngikut Tebe, Gupta, Lala, dan Dimas ke Mamofuku Ando Instant Ramen Museum, di sana kami berkesempatan untuk bikin cup noodles sendiri. Dari berkreasi dengan kemasannya, sampai varian isi dan bumbunya. Coba, dari foto di bawah, bisa tebak ngga mana yang punya siapa? Harga per cup kalau ngga salah 200 Yen, lumayan lah bisa corat-coret daripada otak butek. Kapan yah Pop Mie bikin tempat kayak begini? #eh


Selain itu, aku juga ngikut mereka (minus Gupta) ke Toei Kyoto Studio di Kyoto. Isinya? PAHLAWANKU WAKTU SD! Ada yang tau dia siapa? Errr...nganu, itu pipiku terlihat gendut karena tertekan oleh syal, bukan karena bertambah gemuk selama di sana.




Kalau bepergian rame-rame gini, aku tipe orang yang ngikut ajah. Jadi maklumi kalau aku agak lupa sama urutan tempat-tempat yang aku kunjungi. Aku bukan penggemar Hayao Miyazaki atau Studio Ghibli, tapi begitu masuk ke museumnya, yang ada di pikiranku adalah... INI ORANG MAKAN APA SIH SAMPE BISA BIKIN BEGINIAN?! Aku takjub dengan karya-karyanya yang dikemas dengan ngga biasa di museum itu, sayangnya di dalam museum tersebut ngga diperbolehkan untuk mengambil foto maupun video.

 Ngemil lucu di Ghibli Museum (photo by mbak Uci)

Karena foto bareng pake tripod terlalu mainstream (photo by Goenrock)

Sebelum lanjut nulis tentang Tokyo sebagai kota terakhir kami, aku mau cerita dikit tentang beberapa hal yang terjadi di sebelum, di saat, maupun setelah bepergian rame-rame ini. Seperti yang kalian tau, aku tipe orang yang sebenernya lebih suka bepergian sendiri, tapi menurutku sesekali bepergian rame-rame ini ngga ada salahnya. Sisi positifnya adalah... ada yang motoin, itu pasti! Lalu ada temen ngobrol dalam bahasa Indonesia. Waktu aku ambil summer school di London, hampir setiap hari aku ngobrol dalam bahasa Inggris, apalagi waktu aku sempet deket sama cowok London. Enak sih, ada yang ngajarin bahasa Inggris secara langsung, tapi kalo keliatan begonya khan malu juga. Ya ngga? #lah. Sisi negatifnya adalah, jika kalian tinggal di satu tempat seperti kami, yang keluar akomodasi terakhir harus bawa atau oper kunci ke temen yang sekiranya bakal balik duluan. Udah kayak anak kosan aja yak? Huft. Kami semua di Jepang senasib, yaitu kedinginan dan koper ngga cukup untuk menampung barang-barang yang kami beli. Aku pribadi ngga belanja banyak karena mengutamakan uang untuk makanan dan transportasi. Di sisi lain aku juga bokek mendadak karena ada pengeluaran tak terduga beberapa minggu sebelum pergi. JEPANG MAHAL BRAY! LONDON JUGA NGGA KALAH MAHAL! #MalahCurhat.

Nah, udah siap baca mengalamanku dengan yang lain di Tokyo?

"Gaes, gue ngga bisa pulang" - #JapanAsik

$
0
0
Kota tujuan terakhir kami adalah Tokyo. Dan apapun keadaannya, aku ngga siap menghadapi Tokyo. Keramaiannya, mahalnya, hedonnya, dinginnya, dan masih banyak lagi. Tapi kalo udah pergi rame-rame begini, setiap detik dibawa asik ajah meskipun hampir setiap detik menahan dingin dan nyaris bersumpah serapah karena udah ngga tahan sama dinginnya. Hiks.

Btw, foto-foto di bawah ini diambil di taman setelah kami pergi ke Museum Studio Ghibli. Kalau udah liat foto-fotonya kece kayak gini, jadi pengin ikut bepergian sama Goenrock ngga sih? *lah*



Photos by @Goenrock

Angin di Tokyo di hari-hari terakhir kami di Jepang sama sekali ngga masuk akal, sama seperti sikap (mantan) pacar yang tau-tau berubah dan diikuti rasa penasaran padahal sebelom berangkat baik-baik aja, sama-sama ngga masuk akal khan? *udah iyain aja biar cepet*.

Bisa dibilang, hampir semuanya ada di Tokyo. Mulai dari toko sepatu yang isinya sepatu-sepatu limit edition, toko kamera, sampai *ehm* toko sex toys. Aku ngga bawa uang banyak, jadinya aku cuma beli sepasang sepatu Onitsuka Tiger, itupun karena diracunin mbak Chichi. Untung sepatunya enak dipake, kalo ngga mah ngga bakal beli *YA IYA LAH*. Tebe terobsesi untuk beli sepatu DocMart, Lala terobsesi untuk ke museum seni Yayoi Kusama, hampir semua yang ada di trip ini punya tempat tujuan masing-masing. Aku? Udah tau lah yah, ngikut ajaaaa~

Di Tokyo aku sempat makan malam dan nongkrong bareng Rara, teman main jaman kuliah dan Adit, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang. Kami bertiga mengabiskan malam dengan ngebir juga, tahan-tahanin jalan kaki padahal kaki kanan memar parah karena salah pakai sepatu. Padahal waktu London selama 3 bulan, kaki baik-baik aja padahal jam jalannya lebih parah dari perjalanan ini. Hhhmm... *getok sepatu putih kesayangan*. Beruntung Adit bawa mobil jadi aku bisa mengistirahatkan kaki sesaat. Oh iya, semisal kalian butuh guide dan fotografer selama di Jepang, kalian bisa hubungi Adit yah, nama IG nya @adityadmp

 Aku, Rara @raradesu dan Adit @adityadmp

Setiba di Airbnb, aku melihat teman-teman udah tepar dikelilingi barang belanjaan mereka dan barang belanjaan mereka lucu-lucu, termasuk yang dipakai mereka berdua ini. Ada yang bisa tebak siapa yang dibalik topeng ini?


Aku sendiri? Beli ini. Kalau kata temenku, tinggal pake baju putih, lensa kontak putih juga, lalu kelayapan di pusat kota malem-malem, siap dikira setan *OKE SIP*


Suatu hari kami semua pergi berpencar, yang aku inget Tebe, Lala, Dimas, Gupta pergi bareng-bareng sampai mereka ketinggalan kereta terakhir, jadi mereka terpaksa jalan kaki dari pusat kota ke AirBnb yang lumayan jauh itu. Tebe memberi kabar di Whatsapp grup, dan kami semua berharap mereka ngga apa-apa. 

Lalu Tebe bilang, "gaes, kami ngga bisa pulang". Aku membalas, "Loh, kenapa? Kalian naik taxi aja, nanti gue ikut patungan deh biar kalian sampe dengan selamat". Tebe bales...

Tebe: "Ada Godzilla, gaes"
Aku: "AUK AMAT AH BE!"

...Tebe dan yang lainnya kembali ke AirBnb dengan selamat.

Karena aku naik maskapai yang berbeda, di hari terakhir di Jepang aku pergi duluan dari AirBnb tanpa mandi untuk menghemat waktu. Setiba aku di Jakarta, keringat langsung mendera, bete melanda karena ngga ada yang jemput, dan lusa berangkat ke Jogjakarta untuk liburan keluarga. Dan aku pun jatuh sakit dua hari setelah dari Jogja karena penyesuaian udara yang drastis, padahal di akhir pekan aku menjalani SIMAK UI untuk lanjut S2. Tanggal 2 Mei pengumumannya nih gaes, doakan lolos yaaaa!

Nepal: Menjadi Relawan Bersama IVHQ

$
0
0

Akhirnya, setelah sibuk mengerjakan ini-itu, ketemu orang dari sini-situ dan ngurus ini-itu, aku bisa menulis tentang pengalamanku selama di Nepal bulan April lalu dalam rangka menjalani volunteer program (yang seharusnya berjalan selama) sebulan. Setelah menjalani #BIJITrip tahun lalu yang bisa dibilang cukup mewah karena menguras harta, aku ingin bepergian ke negara yang penuh tantangan, mulai dari bahasa hingga budaya yang sangat berbeda dan butuh penyesuaian yang tidak mudah. Karena itulah aku memilih Nepal, yang tidak jauh dari Indonesia. Dari Jakarta ke Kathmandu via Kuala Lumpur dengan pesawat ditempuh dalam waktu total selama 7-8 jam, tergantung lamanya transit di Kuala Lumpur dengan maskapai Malaysia Airlines. Aku sengaja memilih penerbangan subuh agar tiba di Kathmandu siang hari. 

Setibanya di Kathmandu International Airport aku dijemput oleh perwakilan dari IVHQ, di hari kedatangan yang sama denganku, aku menuju akomodasi bersama Ammar (Jeddah), Max dan ibunya (Sydney). Kami berkenalan dan bercengkrama selama perjalanan. Ammar adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit di West Virginia, sedangkan Max dan ibunya mengisi waktu libur Max dengan mengambil volunteer trip bersama sebagai "Quality Time". Semua relawan yang mengambil periode bulan April pertengahan berjumlah 20 orang.

(foto kiri) IVHQ Nepal mid April: Australia, The U.S, England, Canada, Indonesia, China, Saudi Arabia and Sri Lanka. (foto kanan) Boudhanath Stupa di Kathmandu Valley.


Kami semua berkenalan di hari pertama orientasi di mana kami harus belajar bahasa Nepal beserta kebudayaannya. Sebelum itu, beberapa dari kami berjalan-jalan menuju Durbar Square di pagi hari. Teman sekamarku berasal dari Melbourne, bernama Andi Trosell. Dia mengambil program mengajar bahasa Inggris di Nepal dan di India, masing-masing selama sebulan. Relawan termuda adalah Phoebe, dari Brighton, dan yang tertua adalah Debby, dari Chicago. Kami menjalani orientasi selama 5 hari dan untuk berjalan-jalan ke tempat wisata, kami didampingi oleh Rajesh Thapa. Untuk orang Nepal, bahasa Inggris Rajesh cukup bagus, hanya saja logat Nepalnya membuat kami sulit mengerti ucapannya.


Aku, Kendra Belleville (Canada), Shirley Lyu (China - California) dan Jenning Gan (Malaysia - Canada).



Sangat disayangkan dua hari sebelum kami semua berpencar ke daerah sesuai masing-masing program yang kami ambil, cuaca di Kathmandu tidak begitu bagus tetapi kami semua menikmatinya karena ini pertama kalinya kami bepergian ke Nepal. 

Hari Kamis, tanggal 23 April. Aku, Jenning Gan dan Shirley Lyu ditugaskan di tempat yang sama, yaitu di Annapurna Self-sustain Orphan House di Pokhara. Jarak dari Kathmandu ke Pokhara kurang lebih 208 km dan kami pergi ke sana dengan menggunakan bus, perjalanan memakan waktu selama 7 jam dengan dua kali berhenti untuk makan siang dan istirahat. Bus yang kami tumpangi cukup nyaman. Beruntung cuaca saat itu tidak terlalu panas sehingga kami membuka jendela untuk menghirup udara segar selama perjalanan. Aku dan Shirley duduk bersebelahan dan sesekali bertukar tempat duduk agar tidak bosan, kami ngobrol banyak tentang pendidikan, hobby dan alasan untuk mengikuti program relawan ini.

Sebagian "peralatan tempur" yang aku bawa di tas punggung.

Karena aku mengambil program relawan selama sebulan, bawaanku tidak sedikit. Apalagi aku berniat untuk mengambil foto yang banyak di Nepal. Sebagai (penggiat fotografi dan) seorang fotografer, aku membawa:
- 1 body DSLR
- 1 pocket camera
- 1 GoPro
- 3 lensa untuk DSLR: 20mm f/2.8, 35mm f/1.4 dan 50mm f/1.8
- Tripod

Terkadang, untuk hasil yang maksimal butuh usaha yang maksimal pula (bersambung)

Nepal: "KELUAR! GEMPA!"

$
0
0


Beberapa bulan lalu aku ngga sengaja mengapus tulisan tentang Nepal bagian kedua, padahal itu bagian serunya waktu aku di Nepal dua tahun lalu. Gila, udah dua tahun aja. Time flies!

Setelah menjalani orientasi di kota Kathmandu selama 5 hari, aku dan beberapa relawan pindah ke Pokhara sesuai dengan program yang kami pilih. Aku, Natalie, dan Shirley memilih program yang sama, yaitu bekerja di rumah yatim piatu. jarak dari rumah ke lokasi kerja ngga jauh, cuma tiga atau 4 kali koprol (jalan kaki 30 detik - 1 menit) juga sampe. Jam kerja kami dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore, setelah itu kami boleh tetap bermain di sana sampai jam makan malam atau pergi ke tempat lain.  Anak-anak di Annapurna Self-Sustaining Orphan House berusia dari 4 tahun sampe 18 tahun, dan mereka belajar di boarding school dekat rumah, makanya mereka bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris.






Kami bertiga harus membiasakan diri dengan keadaan rumah dan lingkungan yang apa adanya, tantangan terberat kami adalah… MANDI! Karena pada saat itu suhu pagi hari di Pokhara mencapai 6 derajat celsius. Emang sih, kita ngga harus mandi pagi seperti biasa. Mandi siang, sore atau malam pun sah-sah aja. Tapi yang namanya kebiasaan pasti susah lepas begitu aja, sama seperti orang baru pacaran, pasti ngga mau lepas dari pacarnya *halah*. Suatu pagi Natalie dan Shirley menatapku heran karena aku langsung mengambil handuk dan pergi mandi di suhu yang amit-amit dinginnya. Oh, kami tinggal di rumah penduduk yang ngga ada air panasnya. Yaaah, jadi mirip Jatinangor lah.
Pemandangannya sama-sama gunung, suhunya sama-sama dingin, dan kemana-mana masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Kecuali ke pusat kota, kita harus naik bus. 




Sabtu, 25 April 2015.
Kami libur kerja setiap hari Sabtu, dan di hari Sabtu minggu kedua, kami semua dijemput oleh mobil dari operator travel untuk melakukan paragliding yang udah kami booking sebelumnya. kalau kalian besar di tahun 90an, kalian pasti tahu mobil Kijang kotak. Nah, kami dijemput dengan mobil itu yang AC nya masih berfungsi dengan sangat baik. Ajaib bukan? Para relawan dijemput dari yang terjauh sampai ke yang terdekat dari lokasi kantor provider travel paragliding yang terletak di dekat Lake Side. Sekilas informasi, Lake Side itu lokasi wisata terkenal yang budgetnya masih masuk akal untuk para backpacker dan suasanya seperti Kuta tapi lebih eksotis. Okeh, lanjut. Dua sepupu Danielle dan Kendra adalah yang dijemput terakhir. Saat supir turun dari mobil untuk memanggil mereka, aku dan yang lainnya menunggu di mobil sambil mengobrol. Kami menunggu agak lama karena mereka baru selesai mandi. Saat sedang mengobrol, kedua mataku tertuju ke depan mobil.

Orang-orang berlarian keluar dengan teriakan dan wajah ketakutan, aku sempat mengira mereka lari karena ada sapi ngamuk, maklum, di Nepal banyak banget sapinya.

Aku menatap orang-orang di luar dengan heran, lalu teman-teman yang lain mengarahkan pandangan matanya ke mana aku memandang juga. Mereka bertanya-tanya. Kami enggan keluar dari mobil karena khawatir ada sapi ngamuk.

Kemudian supir kami menyuruh kami untuk keluar dari mobil dengan bahasa Nepal dan Inggris yang tercampur aduk dengan rasa panik.

“Kenapa? Ada apa?”, tanya Shirley yang kebetulan sedang duduk di jok depan

Sang supir menggerakan kedua tangannya, gerakan yang susah kami mengerti, tapi gerakan tangannya seolah-olah seperti memegang sesuatu dan menggoyang-goyangkannya dengan kencang.

“Earthquake?”, tanya Shirley

“IYA. GEMPA! KELUAR SEGERA! GEMPANYA BESAR!”, seru supir kami.

Kami langsung keluar dari mobil yang terletak di luar gang, pergi menjauh dari bangunan dua atau tiga lantai yang ada di sekitar mobil, kami berjalan pelan menuju trotoar dan jalan besar. Kami lihat tiang bangunan dan tiang listrik terguncang hebat, orang-orang di jalan besar menghentikan kendaraannya demi keselamatan atau sekedar memastikan bahwa benar ada gempa atau tidak.

Gempa besar itu berlangsung cukup lama, cukup membuat kami sedikit oleng ketika berdiri tegak di trotoar. Kami yakin, gempa susulan akan segera datang. Setelah Danielle dan Kendra keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil, kami tetap melanjutkan perjalanan ke Lake Side. Iya, kami tetep melakukan paragliding sesuai rencana. Yaaaa mau gimanaaaa, 50 USD boooook. Sayang kalo dibatalin.


Sementara Danielle dan Michael (relawan dari China) pergi terlebih dahulu ke bukit untuk paragliding, relawan lain menunggu di kantor provider travel tersebut. Kami ngga bisa memakai semua fasilitas komunikasi yang terputus karena gempa besar tadi, kami semua bingung bagaimana cara menghubungi kerabat dan keluarga kalau bukan pakai wifi. Hanya Shirley yang membeli nomer lokal karena dia mengambil program relawan selama 2 bulan. Sebelum berangkat  ke Nepal aku meninggalkan nomor dan alamat KBRI di Dhaka, Bangladesh, ke kakak ipar. Aku membawa handphone dengan nomor cadangan yang pulsanya tinggal sedikit, hanya bisa dua atau tiga kali sms aja. Akhirnya aku menghubungi kakak ipar tentang keadaan di Pokhara dan sekalian minta pulsa *nah kalo ini beneran, bukan modus penipuan lewat sms yang populer bertahun-tahun lalu*

Aku meminta keluargaku untuk tenang dan bantu mengabari staff KBRI di Dhaka kalau aku aman-aman aja di Pokhara. Semenjak gempa pertama hingga para relawan bertemu di Lake Side untuk makan malam bersama, kami merasakan after shock sebanyak belasan kali, atau mungkin sebanyak puluhan kali, aku sampai capek menghitungnya karena itu pertama kalinya aku mengalami gempa besar dengan keadaan sadar.

Sebanyak 12 relawan di Pokhara berkumpul di sebuah restoran di Lake Side untuk makan malam, minum bir, dan bersyukur bersama. Secara bergantian kami menggunakan wifi untuk mengabari kerabat dan keluarga, lalu kembali bersenda-gurau sebelum mengakhiri hari Sabtu yang sangat luar biasa itu. 


Setiba di rumah, Amma (panggilan untuk seorang ibu dalam bahasa Nepal) menyambut kami bertiga untuk memastikan kami baik-baik saja. Dari luar aku terlihat baik-baik saja, dari dalam? Rasanya masih terguncang. Malamnya kami membiarkan pintu kamar terbuka agar kami bisa langsung berlari keluar kalau gempa datang lagi…

Nepal: "Nuri, Kami Minta Besok Kamu..."

$
0
0

 Di IVHQ ini, para relawan boleh memilih berapa lama program yang akan mereka jalani. Natalie (yang berbaju abu-abu) hanya dua minggu di program Childcare, dan kami mengadakan makan malam sebagai acara perpisahannya. Beruntung aku bawa tripod, jadi ada foto kami semua, lengkap dengan anak tunggal Amma dan Baba. Meskipun hanya dua minggu, berkenalan dan berteman dengan Natalie sangatlah menyenangkan. Dia bekerja sebagai akuntan sebuah perusahaan. Ketika para relawan di Pokhara makan malam bersama setelah gempa *Iya, kami sesantai itu*, dia yang paling sibuk menghitung uang saat bon keluar. Natalie berasal dari Malaysia tapi besar dan bekerja di Canada.





Beberapa hari setelah kepulangan Natalie ke negaranya, aku mencoba untuk menghubungi staff Deplu yang berada di Kathmandu untuk melakukan sensus, awalnya enggan karena khawatir. Ternyata benar. "Nuri, kami minta besok kamu ke Kathmandu untuk kembali ke Indonesia bersama WNI lainnya". Aku patah hati karena aku sudah terlanjur betah di Pokhara, dan uang yang aku keluarkan untuk mengikuti program ini ngga sedikit. Dengan berat hati aku kembali ke Kathmandu sesuai perintah, sesungguhnya aku ingin menolak, kalaupun mereka mengizinkan, aku khawatir mereka akan lepas tanggung jawab jika di Nepal terjadi gempa lagi. Aku mengucapkan perpisahan ke anak kesayanganku, Sahara, dan Rabina, gadis lincah yang suka banget olah raga lari.


Setibanya aku di Kathmandu, aku pergi ke Kathmandu Guest House Hotel sebagai basecamp staff Deplu, TNI AU, TNI AL, Kemenlu, dan WNI yang selamat. Setelah lapor diri dan sempat diomelin karena ngga segera lapor diri, aku berkeliling gang Thamel untuk hunting foto. Hampir semua bangunan runtuh, hancur, dan terlihat banyak penduduk yang mencari harta mereka di dalam reruntuhan rumah dan menyelamatkan barang dagangan mereka dari gedung pertokoan yang nyaris rubuh. Durbar tidak bisa dimasuki untuk umum karena rusak parah, bahkan sampai sekarang belum direnovasi oleh pemerintah setempat. Beda dengan Boudhanath Stupa yang tidak memakan waktu lama untuk diperbaiki oleh pemerintah.




Di Kathmandu aku bertemu dengan pak Bachtiar Saleh, seorang Konsul Ekonomi KJRI Jeddah. Beliau bilang, beliau ikut ke Nepal karena sedang bebas tugas di Jeddah. Enak bener yak lagi bebas tugas ngikut ke Nepal *menghela nafas berat*. Tidak semua WNI dan staff Deplu maupun Kemenlu ikut kembali ke Indonesia. Aku pulang dengan pesawat yang biasa membawa presiden RI beserta staffnya *AZEEEEEEKH. KAPAN LAGI YE KHAN?*, pengalaman luar biasa yang bisa aku bagi ke orang-orang, serta foto-foto yang bercerita meskipun aku merasa kurang.



Masih banyak hal dari Nepal yang ingin aku jelajahi. Sudah dua tahun berlalu sejak gempa besar melanda Nepal, aku berniat untuk kembali, apa daya opa James Natchwey udah duluan tahun lalu *Apa sih?!*. Foto-foto dari opa James bisa kalian lihat di sini.

One of Lifetime Achievements Unlocked: U2 Live in Concert, 2017.

$
0
0
 

Di saat kebanyakan orang pengin nonton konser Coldplay, aku malah pengin banget nonton konser U2. Iya aku tau itu band tua, personelnya opa-opa semua tapi aku suka lagu-lagunya. Untuk urusan trip konser, aku selalu mengandalkan @KartuPos. Di bulan Januari, @KartuPos mengeluarkan paket trip konser U2 The Joshua Tree Tour di Twickenham Stadium, London. Karena itu konser U2, dan di kota London pula, aku langsung hubungi @KartuPos aka Kenny Santana. Paket trip yang biasa disebut #KartuPosTrip yang dibuat oleh Kenny bisa dibilang relatif terjangkau dan lokasi akomodasi yang dipilihnya pun termasuk bagus. Awalnya aku berniat menjadikan trip konser ini sebagai trip terakhir sebelum aku memulai kuliah master di bulan Agustus nanti, tapi ternyata Ed Sheeran bakal konser di Singapore dan aku langsung beli paket #KartuPosTrip meskipun nyicil. Emang ya, kalo udah biasa nonton konser sampe luar negeri, apalagi ngga jauh dari Indonesia dan kita suka banget sama musisinya, bakal dijabanin meskipun keuangan lagi cekak sekalipun. 

Untuk urusan visa ke UK tahun lalu dan tahun ini, aku mengandalkan Dwidaya Tour. Pelayanan mereka bagus dan terpercaya. Buat kalian yang pengin liburan ke Eropa di musim panas, aku sarankan untuk apply visa 3 bulan sebelumnya karena antri banget, belum lagi semisal dokumen kalian nyicil di hari-hari terakhir, waktu kalian bakal habis di situ. Visa UK ku jadi sekitar seminggu sebelum berangkat, cukup mepet bukan? Meskipun sempet pesimis visa bakal diterima, aku mah packing aja yang juga diiringi dengan doa agar visaku diterima dan perjalanan berjalan dengan mulus.

KartuPosTrip dari @KartuPos ini udah termasuk akomodasi, tiket pesawat pulang pergi, dan tiket konsernya sendiri. Awalnya aku cek di CityMapper untuk mengetahui transportasi dari penginapan ke venue, ternyata cukup ribet. Menjelang konser, Kenny memberi info lengkap tentang transportasi menuju ke venue, dan ternyata cukup mudah! Dari hostel ke venue cukup sekali naik kereta bawah tanah (tube), lalu lanjut naik bus. Lamanya perjalanan sekitar 45-60 menit karena dari hostel yang terletak di Russell Square ke venue yang terletak di Twickenham Stadium cukup jauh, tapi kalo mudah diakses, ngga jadi masalah. 

Konser diadakan selama dua hari dan aku memilih konser yang diadakan hari pertama yang juga bertepatan dengan Pride in London *nangis bombay*. Apa itu Pride in London? Cek infonya di sini. Sebagai turis (atau traveler) yang taat akan peraturan biar ngga bikin onar *apeu*, aku ngga bawa kamera ke konser, jadi foto-foto yang aku taruh di sini menggunakan iPhone 6, jadi maklumi kalau hasinya agak jelek.

Aku tiba di venue sekitar jam 2 siang, setelah bertanya ke petugas, aku disuruh mengantri dan beginilah antrian di belakangku sekitar 15 menit kemudian. Kenapa ngantri dari jam segitu? Karena aku beli standing tiket alias festival biar bisa jejingkrakan meskipun aku berdiri diantara orang-orang yang tingginya seperti Thibaut Cortois meskipun ngga semuanya sih.

 

Penonton diperbolehkan masuk ke arena sekitar jam setengah 5 sore, sedangkan opening actnya yaitu Noel Gallagher's High Flying Birds mulai gonjreng jam 6an menurut jadwal. Di saat aku mengantri di luar, terdengar oom Noel lagi check sound dengan lagu Don't Look Back in Anger. WOI! OASIS REUNI DONK, WOI! *salah fokus*.

 

Dan cowok-cowok asal Norway yang antri di belakangku bawa satu botol kecil Jack Daniel doooonk! Adalah suatu godaan yang besar untuk minta karena haus ngga ketolongan. Selesai ngebathin kayak gitu, aku ditawarin untuk ngebantu ngabisin karena ngga boleh bawa minuman dari luar ke dalam stadium, DENGAN SENANG HATI QAQAAAQ! Aku ngga berani minum banyak-banyak karena khawatir bakal mabuk pas konser berlangsung, udah gitu toiletnya jauh. Terpaksa menahan dahaga sampai konser selesai. Untuk nonton konsernya ngga lama setelah bulan Ramadan, jadi masih terbilang masih terbiasa untuk menahan haus dan lapar *yeah rite*

Setelah mengantri dan menunggu lebih dari 4 jam, para penonton diberikan gelang sebagai tanda masuk lalu diperiksa tiketnya sebelum masuk ke venue, meskipun terbuat dari kertas, gelang ini patut disimpan sebagai kenang-kenangan *sombong dikit ngga apa-apa yaaa*


The Joshue Tree adalah album U2 yang dirilis pada tanggal 9 Maret 1987, dan konser ini merupakan perayaan 30 tahun dari album tersebut, lagu-lagu yang dibawakanpun kebanyakan dari album yang usianya beda setahun doank sama aku *iyain aja biar cepet*.


Oom Noel Gallagher naik ke atas panggung sekitar 30 menit lebih lambat dari jadwal seharusnya, dan bisa kalian lihat di foto, beliau sudah nampak menua, mungkin beliau stress karena banyak orang yang pengin OASIS untuk reuni tapi apa daya itu mustahil. Hiks. Sedih. Beruntunglah kalian yang sempat dan pernah nonton konser Oasis sebelum mereka memutuskan untuk bubar jalan.

London sedang musim panas saat konser diadakan, masih terasa aneh ketika jam sudah menunjukkan jam 7 malam, langit masih terang benderang. Sekitar jam 9 malam lebih dikit, akhirnya Bono, The Edge, Adam Clayton, dan Larry Mullen Jr naik ke atas panggung. Tidak ada tata panggung yang meriah, hanya ada satu layar besar dan runway menuju ke tengah stadium. Konser Coldplay jauh lebih meriah dari konser U2, tapi buatku maknanya berbeda, U2 lebih legenda dari Coldplay *hayooo, ada yang mau berargumen?*. Band yang ngga pernah atau jarang ganti personel perlu diapresiasi lebih karena komitmen dan solidaritasnya, karena menyamakan visi dan misi dalam satu band tidaklah mudah, sama seperti hubungan yang akan berlanjut ke pelaminan atau bubar jalan *malah curhat*

Sempat merasa capek banget berdiri tapi semangat ngga habis begitu aja, setelah mereka menyanyikan lagu-lagu dari album The Joshua Tree, lagu-lagu dari album yang mereka rilis tahun 2000an menggema seperti Beautiful Day dari album All That You Can't Live Behind yang rilis tahun 2000 kemudian disusul dengan lagu Elevation yang mampu membuatku lupa akan rasa capek berdiri dan mulai nyanyi dan jejingkrangan sampai lagu terakhir.


Aku tidak menyisakan banyak waktu untuk mengabadikan sebagian besar lagu dan penampilan mereka malam itu karena aku ngga mau melewatkan kesempatan yang berharga ini. Jauh-jauh ke London demi menonton pertunjukan langsung dari musisi jadul yang sekiranya agak mustahil untuk manggung di Asia Tenggara lalu selama konser kerjaannya cuma memotret dan merekam penampilan mereka? What a waste! Yaaa kecuali kamu di sana sebagai fotografer atau videografer, itu lain cerita. Konser ditutup dengan penampilan U2 dan Noel Gallagher dengan lagu Don't Look Back In Anger, mau nangis rasanya bisa denger lagu itu secara langsung dinyanyikan dan dimainkan oleh mereka.



Banyak orang yang meremehkan kemampuan solo traveler. Di acara tersebut, aku berkenalan dengan dua cowok asal Norwegia, satu cewek asal New Zealand, dan satu cowok asal Glasgow. Kami berbincang dan bertukar banyak cerita sebelum dan sesudah konser. Intinya kami semua bersenang-senang bersama. Mereka cukup kagum dan salut dengan niatku untuk nonton konser U2 sampai ke kota London, kota yang sudah aku anggap sebagai rumah kedua. Sebelum berpisah, kami saling bertukar akun facebook agar tidak putus komunikasi. Bisa aja khan berikutnya aku traveling ke Norwegia atau Glasgow lalu bertemu dengan mereka lagi?

Ketika Menjadi Relawan (Fotografer) Tidaklah Mudah

$
0
0
Setelah lulus kuliah di tahun 2013, menunda revisi selama setahun (jangan ditiru), lalu diwisuda tahun 2014, aku memutuskan untuk tidak mengambil kerja kantoran dulu dan memilih untuk berkeliling dunia dari tabungan yang seharusnya aku pakai buat nikah (baca: batal manten). Kalau kalian baca tulisan-tulisanku sebelumnya, setelah lulus aku pergi ke (yang awalnya) ke empat negara dan empat kota, lalu menjadi enam kota dan enam negara, satu di antaranya hanya perjalanan selama satu hari (one day trip), yaitu ke Brussels, yang satu lagi adalah trip impulsif bersama sahabat ke Praha, kami menghabiskan waktu selama lima malam di sana. Dan trip selama dua bulan itu kuberi nama #BIJITrip.


 

Setelah #BIJITrip berakhir di awal bulan Desember 2014, aku mengambil kegiatan relawan di Nepal bersama IVHQ pada bulan April 2015 bersama 19 relawan lain dari berbagai negara. Setelah dari situ aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan relawan di Indonesia yang sekiranya cocok buatku, karena tabunganku terkuras habis untuk #BIJITrip dan ikut serta menjadi relawan bersama IVHQ.

 

Apakah menjadi relawan itu gampang? Jujur, susah susah gampang. Kenapa? Untuk menjadi relawan setidaknya kita punya soft skill yang sekiranya bisa kita bagikan dan salurkan secara sukarela. Aku seorang fotografer yang punya hobi membaca dan olah raga. Apa yang bisa aku bagi dari pekerjaan dan hobiku itu? Jawabannya: BANYAK. Kesannya bakal dianggap remeh bahwa seorang fotografer rela menggunakan kameranya yang mahal untuk kegiatan relawan sedangkan kita ngga dibayar. Kalau kalian perhatikan, banyak acara menarik yang ngga punya dokumentasi yang sesuai dan enak dilihat oleh orang banyak. Selain menambah pengalaman dan koneksi, foto yang kita hasilkan bisa dijadikan sebagai portfolio. Belum lagi kegiatan relawan tersebut diadakan di luar kota atau luar negeri. Semisal kegiatan relawan yang diadakan oleh Ruang Berbagi Ilmu atau yang lebih dikenal dengan RUBI. Sejauh ini aku sudah mengikuti kegiatan RUBI dua kali di dua lokasi yang berbeda, yaitu Rote Ndao dan Natuna. Juga mengikuti kegiatan relawan Selebrasi 5 Tahun Indonesia Mengajar yang juga merupakan bagian dari Pelepasan Pengajar Muda di Halmahera Selatan. Melalui kegiatan relawan ini, aku mengunjungi beberapa provinsi di Indonesia yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.

 
Iya, rambutku pernah sepanjang itu *salah fokus*

 
Dari anak ibukota Jakarta menjadi anak pantai di Halmahera Selatan selama beberapa hari

 
 Maafkan pose kami yang lelah dirubung nyamuk di malam hari dan kepanasan di siang hari

Terlihat menyenangkan bukan? Lalu, ngga mudahnya di mana? Para relawan bersedia membiayai sendiri transportasi dari Jakarta (atau kota asal) ke kota tujuan, dan belum lagi kami harus menyesuaikan diri dengan budaya, makanan, dan cuaca. Membawa carrier bisa dibilang mudah, tetapi bakal susah ketika setelah kegiatan selesai, para relawan bubar jalan alias jalan sendiri-sendiri. Susah rasanya lepas dari rekan relawan yang sama-sama gilanya. Susah, jalan-jalan sendirian dan ngga ada yang bantu saat kesusahan. Tapi tantangannya ada di situ bukan?

Sewaktu menjadi relawan di Rote Ndao, aku ngga mengambil banyak foto karena... LUPA BAWA CHARGER KAMERA! Jadi buat kalian yang hobi fotografi atau menjadi relawan fotografer, jangan lupa bawa charger kamera ya. Pokoknya jangan.

 
Maklumi kami yang kegirangan liat pantai yang sepi yah 

Karena cuaca yang sangat panas di Rote Ndao, sehari setelah tiba di Jakarta aku mengalami dehidrasi yang parah sehingga aku harus dirawat di rumah sakit selama delapan hari. Itulah yang kita lupa terkadang; menjaga kesehatan. Menjaga tabungan untuk ngga dihabiskan terlalu banyak juga susah lho *lah*. Untuk menjadi relawan, kalian harus punya tenaga dan waktu untuk direlakan, tapi jangan sampai kesehatan kalian relakan juga.

 
Menyerah? Ngga, setelah pulih aku tergabung menjadi relawan di acara NusantaRun 3 di bulan Desember 2015 dengan rute dari Bandung ke Cirebon.

NusantaRun ini adalah acara lari dengan tujuan beramal, yang mana uang dari para donatur akan disumbangkan lalu dibangun gedung sekolah baru di daerah setempat. Kalian ngga perlu hobi ulang raga lari untuk bisa berpartisipasi di acara keren ini. Kamu bisa menjadi bagian dari acara ini dengan menjadi relawan marhsall sepeda kalo kamu hobi bersepeda, menjadi relawan fotografer dan videografer untuk mengabadikan momen setiap detik, menit, dan jam di acara ini.

 
 Tim dokumentasi NusantaRun 3 dengan rute Bandung-Cirebon


Selain Kelas Inspirasi Jakarta 5 dan NusantaRun 4 yang diadakan dengan rute Cirebon - Purwokerto di minggu ketiga bulan Desember 2016, aku mengambil kegiatan relawan RUBI di Natuna sebagai fotografer pada tahun 2016 akhir. 

 
Tim dokumentasi NusantaRun 4 minus aku yang lagi packing di hotel 

 
Tim dokumentasi NusantaRun 3 reuni di NusantaRun 4  

Lagi, rasanya sayang kamera dan lensa yang kita punya dipakai untuk mendokumentasikan acara yang berlangsung sebentar, tapi kalau acaranya diadakan di pulau yang indah di Natuna, lalu lanjut ke Belitung, aku rasa itu bukan hal yang sia-sia. Lagipula, relawan lain bakal sangat senang punya foto mereka sebagai kenang-kenangan dan fotografer akan sangat dihargai meskipun hanya memotret, ngga lebih. Dan yang pasti, fotografer juga bahagia banget kalo ada yang motoin. 

 
Hayo relawan RUBI, siapa yang ngga kenal sama kak Asta?
 
Petualanganku di kepulauan Riau berlanjut ke Belitung bersama Raras ,bisa dibilang kami wanita yang cukup tangguh untuk ngebolang berdua aja. Basah bareng, gosong bareng, dan ngopi bareng. Sebagai seorang solo traveler, awalnya agak susah punya partner sesama solo traveler karena kami sama-sama egois. Untung wanita satu ini sangat menyenangkan untuk diajak keliling, tampangnya aja yang jutek, selebihnya mah sangat easy going.


Bisa dibilang aku adalah relawan tetap untuk acara Ubud Writers and Readers festival (UWRF) sejak tahun 2014 yang diadakan setiap minggu ketiga atau minggu keempat di bulan Oktober, kalau ngga ada halangan, tahun ini adalah kali keempat aku menjadi relawan di acara literatur besar bertaraf internasional itu karena jadwal kuliah yang akan menentukan aku bakal ikut atau ngga, rasanya sayang untuk ngga ketemu rock star di dunia literatur dan bertemu lagi dengan mereka.

  
Tim "Ubud Sekut" di UWRF tahun 2016

Dan ada kemungkinan bakal berpartisipasi lagi di acara NusantaRun 5 dengan rute Purwokerto - Dieng yang berjarak sekitar 145 km dan diakan pada tanggal 16-18 Desember 2017, pendaftaran relawan mungkin akan dibuka sekitar bulan Agustus atau September. 

Jangan takut untuk menginjakkan kaki kalian keluar dari kota di mana kalian tinggal untuk sebuah pengalaman berharga dan berkenalan dengan banyak orang dari kegiatan relawan. Selama kalian punya waktu, tenaga, dan uang yang cukup, berpetualanglah. Karena sekalinya waktu terlewati, ngga akan kalian bisa ulang kembali. Selamat berpetualang!

2018: Akan 30, Sabu Raijua, Insyaallah Raja Ampat dan Russia untuk Piala Dunia 2018

$
0
0
Tahun lalu adalah tahun di mana aku mengalami sediiiikit pendewasaan dalam hidup, kata adikku sih gitu, aku mah ngerasa biasa aja karena masih bego soal percintaan. Setelah menguras keringat dan air mata untuk UAS (iya, UAS. Aku jadi mahasiswa lagi. AHEY!), akhirnya libur juga sampe awal bulan Februari. Gila, semester awal aja udah gitu gimana tahapan menuju sidang tesis? Yang penting masih tetep waras sampe lulus.

Bukan Nuri namanya kalo ngga ngebolang dalam rangka kegiatan relawan padahal udah bukan pengangguran lagi dan bakal memanfaatkan absen kuliah sebaik mungkin. Bulan Februari nanti aku bakal ke sebuah tempat bernama Sabu Raijua. Pernah denger? Sama, aku pun baru denger. Tau Sabu Raijua itu di mana juga setelah liat peta. Aku bakal ngapain di Sabu Raijua? Nah, aku ke sana dalam rangka kegiatan relawan bernama Ruang Berbagi Ilmu atau RUBI. Di dalam kegiatan relawan RUBI ini aku selalu mengambil lokasi yang jauh dari pulau Jawa karena ingin mengenal Indonesia lebih ke pelosok *eaaa*. Jadi, lokasi pulau Sabu dan Raijua (yes, itu dua pulau yang berbeda, entah kenapa selalu disebutnya bareng-bareng. Mungkin bakal sedih kali yah kalo dipisah) itu ada di bagian timur Indonesia, lebih tepatnya sekitar 5-6 jam naik kapal cepat dari Kupang ke Pulau Sabu, dan nambah sekitar 2 jam lagi untuk ke Pulau Raijua. Untungnya, aku bakal ke Pulau Sabu, jadi ngga bakal mabok liat laut meskipun aku ngga pernah mabok laut. Sebenarnya aku bisa menyebrang ke Pulau Sabu dari Kupang dengan menggunakan pesawat Susi Air, tapi karena terbilang cukup mahal buat mahasiswa, jadinya aku dan beberapa rekan relawan bakal berangkat naik kapal karena kami tidak terburu-buru. Cerita lengkap termasuk pengalaman dan foto-fotonya bakal aku post setelah kegiatan relawan selesai yah.

Sejak sebelum pergantian tahun, teman-teman di beberapa Whatsapp grup membagikan informasi tanggal-tanggal cuti bersama (padahal buat mahasiswa kagak ngaruh), yang pertama aku perhatikan adalah tanggal hari pertama puasa, selain mempersiapkan diri untuk pergi ke Russia (kalau lolos jadi relawan Piala Dunia 2018), di tanggal 25 Juni nanti aku bakal merayakan ulang tahunku yang ke… 30. Tiga puluh, cuy, TIGA PULUH! Tampang kayak gini kagak cocok untuk usia 30 tahun woi! Aku juga bingung kenapa aku bisa masih dikira 17 tahun. DARI MANAAAA?!



Lalu, apa resolusiku di tahun 2018 ini? Jujur, ngga ada. Aku lebih milih untuk mencoret dua lifetime achievements yang tersisa. Kenapa aku sebut lifetime achievement, bukan resolusi? Jadi gini… 




Intinya sih karena lifetime achievement jangka waktunya lebih lama untuk dicapai daripada resolusi per tahun yang udah jelas deadlinenya dan bakal merasa gagal atau bersalah kalau belum terpenuhi menjelang pergantian tahun. Dari lima lifetime achievements, tinggal dua lagi nih. Yang masuk dalam nomer 4 adalah traveling ke Raja Ampat selama seminggu dan benar-benar menikmati liburan selama di sana meskipun aku ngga hobby diving tapi aku suka snorkling. Yang terakhir adalah, menikah. Yes, meskipun empat tahun lalu aku batal manten, keinginan untuk menikah masih ada. Berhubung aku sekarang adalah mahasiswa, aku bertekad untuk menikah setelah lulus kuliah di tahun 2019. Kalau setelah lulus belom ketemu calon suami gimana? Ya ngga apa-apa, uang tabungan bisa dipake buat traveling seperti biasa. Kalau semua yang di daftar udah tercoret, lalu apa aku bakal bikin lagi? Yap, tapi untuk berdua bareng suami. Misal salah satunya adalah traveling jauh berdua selama belum punya anak, dan kalau udah punya anak, bakal ajak dia traveling minimal sekali dalam setahun ketika dia udah berusia dua tahun. Mayan lah ada waktu buat nabung. 

Anyway, bulan depan adalah bulan yang menegangkan buatku karena bakal ada pengumuman relawan untuk Piala Dunia 2018 di Russia, kalau keterima, aku bakal di Russia selama kurang lebih dua bulan. Sedih, bakal melewatkan hari raya Idul Fitri untuk pertama kalinya sama keluarga, dan aku bakal merayakan ulang tahun ke-30 di sana. Kalau keterima ya. AAMIIN. Waktu ngisi formulir, aku pilih divisi departure and arrival alias tukang anter jemput timnas tapi timnas yang ngga lolos kualifikasi Piala Dunia tahun ini ajaib cuy. ASLI! BELANDA KAGAK LOLOS! CEM APA PULAK?!

Wes, yang penting semoga semuanya berjalan dengan lancar, dari rencana traveling sampe penyusunan proposal tesis. ada "aamiin"?

AAMIIN



RUBI PPI Sabu Raijua: Kembali ke Kegiatan Relawan (Bagian Pertama)

$
0
0

Setelah libur kuliah yang cukup membuat males gerak, akhirnya aku punya kegiatan yang cukup bikin sibuk menjelang masuk kuliah; ngitung duit orang, packing, dan pergi ke Pulau Sabu di NTT untuk kegiatan relawan lagi. Kalau ada yang bertanya kenapa aku suka banget ikut kegiatan relawan di luar kota, jawabannya bukan karena waktuku (ngga lagi) banyak, begitu juga dengan duit di tabungan, tapi ikut kegiatan relawan itu bikin ketagihan. Ketemu banyak orang baru, menambah pengalaman baru juga di kota orang, dan juga menambah stok foto *lah*. 

Kilas balik sedikit, beberapa minggu sebelum berangkat, aku membantu panitia mengumpulkan uang untuk biaya transportasi yang nantinya akan ditransfer ke panitia lokal karena dari Kupang ke Pulau Sabu ada dua pilihan transportasi, yaitu naik pesawat Susi Air dan naik kapal cepat. Aku memilih untuk naik kapal cepat untuk berangkat ke Pulau Sabu bersama lima orang lainnya, lalu baliknya naik pesawat dan itu pertama kalinya aku naik pesawat Susi Air. Beberapa hari menjelang berangkat, drama pertama adalah nominal duit yang ada di google sheet ngga seimbang antara debit dan kredit, sebagai penggemar akuntansi aku merasa gagal. Lalu dengan bantuan seorang panitia bernama Dona Niagara, akhirnya nominalnya sama setelah dihitung ulang beberapa kali. Esoknya (hari Jumat), aku pergi ke bank untuk transfer duit dengan nominal luar biasa itu ke rekening panitia lokal. Karena beda bank, ada kemungkinan duit akan sampai di hari Senin, bingung campur panik harus gimana, akhirnya staff senior bilang bahwa duitnya bisa sampai di hari yang sama kalau transaksi dilakukan sebelum jam 11 siang, aku berada di depan teller jam 10.35. AMAN. Drama pertama berakhir dengan bahagia. 

Pesawat yang aku tumpangi ke Kupang adalah Batik Air jam 3 pagi, barengan ama orang sahur dah tuh. Perjalanan memakan waktu selama 3 jam, ngga pakai lama, begitu duduk di kursi pesawat yang aku lakukan adalah tidur. Nuri mah gitu, nempel molor banget. Tiba di Kupang jam 7 pagi WITA, dan kami langung pergi ke  Pelabuhan Tenau untuk menyebrang ke Pulau Sabu. Salah informasi, yang awalnya kami kira kapal akan berangkat jam 9 pagi, ternyata berangkat jam 10 pagi. Kembali beberapa dari kami berenam memanfaatkan waktu untuk tidur sebentar, jalan ke kapan begitu tau ternyata kapalnya dari kapan tau udah nangkring alias tinggal berangkat. Tepat jam 10, kapal kami berangkat dan kami pun lanjut tidur. Salah informasi lagi, panitia lokal memberitahu kami bahwa harga tiket kapalnya adalah 250 ribu, kami kira kami tidak ada pilihan lain ternyata kami bisa memilih kelas VVIP yang super duper nyaman sedangkan kami beli tiket untuk kelas ekonomi yang super panas, angin sepoi-sepoi baru terasa kalau kami ke luar kapal. Daaaaan, perjalanan dari Kupang ke Pulau Sabu memakan waktu... 5 jam, saudara-saudara! Di manakah tepatnya lokasi Pulau Sabu, NTT?

Nah, titik merah itu adalah lokasi Pulau Sabu, NTT

Yang sering ikut RUBI pasti kenal Hain :))

Duduk, tidur, kebangun, duduk, ngobrol, tidur lagi, kena ombak, terjatuh dari kursi, lanjut tidur, kebangun, tidur lagi, lalu bangun lagi, kurang lebih itulah yang kami lakukan sampai tiba di Pelabuhan Biu, Pulau Sabu. Setiba di Pulau Sabu, kami disambut oleh panitia lokal dan beberapa relawan yang sudah tiba terlebih dahulu dari Waingapu. Jadi untuk pergi ke Pulau Sabu, ada dua jalur alternatif dengan pesawat Susi Air, yaitu dari Kupang dan dari Waingapu. Kalau dihitung lagi, biaya transportasi lebih murah kalau berangkat dari Jakarta ke Waingapu lalu lanjut ke Pulau Sabu.


Beruntung suhu di Pulau Sabu saat itu tidak sepanas Rote Ndao. Kalau sudah berada di tempat seperti ini, dalam rangka kegiatan relawan, yang kami hadapi berikutnya adalah fasilitas seadanya. Mandi jadi 2-3 kali sehari karena saking gerahnya, padahal biasanya mah aku mandi sehari sekali cukup. Hemat air cyin! *halah alesan*

Dari pelabuhan, kami menaruh baranng dulu di penginapan yang super duper serem di malam hari, sayangnya ngga sempet aku foto karena jadwal padat *alesan lagi*. 

Dokumentator RUBI Sabu Raijua minus Nacota yang belom datang

Sekolah di mana RUBI Sabu Raijua dilaksanakan selama dua hari

Seusai meninjau lokasi, jalan-jalan sebentar, dan makan malam di rumah warga, sebagian besar relawan pemberi materi begadang untuk menyiapkan materi keesokan harinya. Nantikan tulisan bagian kedua untuk bagaimana keseruannya yuaaa~

RUBI PPI Sabu Raijua: Kembali ke Kegiatan Relawan (Bagian Kedua)

$
0
0
Yuk ah lanjut lagi cerita tentang Ruang Berbagi Ilmu di Pulau Sabu! Sebenernya, apa sih Ruang Berbagi Ilmu itu? Kenapa diadakannya di tempat antah berantah seperti Pulau Sabu? Jadi gini... Pendidikan di daerah terpencil di Indonesia seperti di pulau Sabu termasuk yang membutuhkan perkembangan dan kemajuan dalam sistem mengajarnya, nah Ruang Berbagi Ilmu mengajak para individu dengan pengetahuan yang lebih dalam metode mengajar, untuk berbagi ilmu kepada guru-guru di sekolah yang ada di pulau Sabu ini. Total partisipan adalah sekitar 200 orang guru dari penjuru pulau Sabu dan pulau Raijua. Untuk selebihnya bisa kalian lihat di sini.

Jam setengah 4 subuh, kami para relawan dijemput oleh panitia lokal dengan bus sederhana yang sedikit usang, dari penginapan menuju ke sekolah. Tak sempat mandi, hanya membawa barang dan perlengkapan yang sudah disiapkan di malam sebelumnya, kami siap menyambut hari pertama pelaksanaan RUBI.

 Absen dulu yuk, bu guru!

Hweeeeits, jangan salah! Sebelum para guru datang, kami mandi dulu di kamar mandi sekolah. Beruntung air yang ada cukup untuk kami semua, alhasil kami menyambut para guru dengan wajah segar meskipun badan kembali banjir keringat dalam waktu hitungan belasan menit. NTT adalah salah satu daerah yang sulit air, makanya kami semua bersyukur bisa mandi setidaknya sehari sekali.

 ...tak lama kemudian, kami pun menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza *DHUAR*

Ada juga relawan yang baru tiba di hari H pelaksanaan, kebanyakan adalah pemberi materi di hari kedua. Beruntung kak Thasya datang tepat waktu karena dia memberi materi di hari pertama, sisanya berdiskusi dan menyiapkan materi yang akan disampaikan di hari kedua.


Salah satu relawan yang bernama mbak Pipit (baju putih biru) sudah ikutan RUBI delapan kali lho! Ajegileeee, entah karena kebanyakan duit, kebanyakan waktu, atau suka berbagi ilmu, hanya mbak Pipit dan Tuhan yang tahu.


Proses pemberian materi diiringi tawa canda juga, karena selain biar ngga kaku amat, juga biar memberikan kesan yang berarti untuk para guru dan relawan. Dan mereka memberi materi dengan cara yang atraktif agar terus diingat. Perbedaan budaya dan bahasa bukan penghalang di antara mereka. Materi yang dibagikan beragam, salah satunya adalah Metode Belajar Kreatif. Di RUBI Rote Ndao 2015, aku menjadi salah satu pemberi materi Pengelolaan Taman Baca, materinya tentang mengelola buku-buku di perpustakaan dan taman baca, pemberian label pada buku, dan sistem pinjam meminjamnya.

Meskipun baru bertemu dua hari, para relawan dan partisipan sudah seperti keluarga

Nampaknya cerita ini ngga akan sahih kalo ngga diungkap behind the scene nya, pengin tau? Bakal dibahas di post berikutnya. Tunggu yaaaa!
 

RUBI PPI Sabu Raijua - Behind The Scene

$
0
0
Rasanya tulisan tentang pengalaman RUBI ini ngga akan lengkap tanpa behind the scene, cuuuus!

Udara panas bikin mager, Rifa (kanan) aja sampe tertidur. Tata (kiri) dengan pasrahnya dijadikan bantal oleh Rifa.


Nadia in action, beginilah penampakan fotografer sedang memotret para relawan dan guru


Para dokumentator minus Nugie, kami juga pengin punya poto bareng kaliii~


Para relawan, panitia lokal, dan Pengajar Muda Sabu Raijua


Cuma bermodalkan tripod, akhirnya bisa dapet foto kayak gini. SENANG!

Kehidupan Kuliah Pasca Sarjana: Jurusan Studi Gender SKSG Universitas Indonesia

$
0
0
Setelah 3 tahun menambah uang jajan sendiri lewat fotografi dan menghabiskannya juga di traveling, akhirnya aku memutuskan untuk ambil kuliah lagi. Jurusannya ajaib: Studi Gender di Universitas Indonesia. 

Oh ada toh jurusan itu?

Ada dwoooooks!

 Kalian pasti fokus ke tinggi badanku. NGAKU!

Berawal dari pengalamanku yang pernah pacaran sama cowok waktu SMA yang ternyata adalah seorang gay, butuh move on agak lama sekitar 2 tahun, lalu dapet mata kuliah Gender and Sexuality in World Politics waktu ambil S1 Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung sonoan lagi alias Jatinangor. Di mata kuliah itu, aku belajar tentang pernah LGBT dalam dunia politik. Makin ke sini, semakin banyak aku punya teman gay dan lesbian. Sekarang fotografi menjadi sekedar hobby, aku mencoba menggabungkan antara fotografi dan ketertarikanku di isu LGBT di Indonesia, lalu lahirlah projek foto LGBT di Indonesia yang aku unggah di sini

Salah satu alasanku untuk ambil kuliah pasca sarjana adalah (mumpung) aku belum menikah, karena aku khawatir bakal melewatkan kesempatan itu setelah menikah nanti. Awalnya aku ingin ambil beasiswa LPDP dan ambil kuliah di University of Manchester atau School of Oriental and African Studies, tapi apa daya belum rejeki. Kuliah ini memakan waktu sekitar 2 tahun, dari semester satu aku udah memutuskan untuk membahas apa untuk tesisku nanti. Topiknya adalah Komunitas Waria di Jogjakarta dari Perspektf Spiritualitas Agama Islam. Berat dan sensitif yah topiknya? Memang, tapi tujuanku adalah orang-orang lebih peka lagi akan mereka karena mereka juga manusia yang bersosialiasi, sama seperti aku, sama seperti kalian.

Cerita dikit soal SIMAK. Menjelang SIMAK, aku mengalami demam tinggi selama berhari-hari. Udah sakit, duduk paling depan, kelar ngga hidup loe?! Kelemahanku adalah Matematika, aku paliiiing males sama angka-angkaan. Materi yang diuji adalah Logika/Silogisme, Kuantitatif, Linguistik, dan Bahasa Inggris. Buat yang tau betapa stressnya baca soal Silogisme di SIMAK kemarin, mari kita makan kertas ujiannya berjamaah. BACA SOALNYA AJA UDAH BIKIN EMOSI SETENGAH MATI, ANJIR! KZL WA!

Lanjut ke cerita kuliah. Di jurusan itu sekelas ada 7 mahasiswa dan cewek semua, kebayang ngga kalo pas diskusi antara dua atau tiga orang, salah satunya lagi PMS, hari pertama dapet dan lagi sakit-sakitnya? KELAR DUNIA PERSILATAN




Ya kurang lebih begitulah... Lanjut!

Semester pertama aku dan teman-teman belajar tentang teori, lumayan lah bikin emosi meledak-ledak belajar itu. Menurutku, mata kuliah di semester 2 lebih menyenangkan karena ada mata kuliah Tubuh, Seksualitas dan Perubahan Sosial yang sekiranya bakal jadi bekal buat tesisku nanti.

Ngga butuh waktu yang lama untuk 7 mahasiswi menjadi akrab satu sama lain, yang jelas kami kesalnya kompak kalau ada mata kuliah yang diundur terus-terusan. Sayangnya, foto keluarga lengkap kami hilang atau aku salah simpen di folder entah yang mana. Yok kenalan dulu ama teman-temanku!

 Dwilia, aku, dan Ullynara (atas), Chenia (bawah)

Chenia, Ulya, aku, dan Nara

Sebenarnya ada dua orang lagi tapi sayangnya mereka paling susah diajak meluangkan waktu untuk foto bareng, padahal buat kenang-kenangan setelah lulus nanti. Dan ini adalah foto teman-teman dari semester satu, dua, dan empat. Sayangnya waktu aku belum punya lensa wide, jadinya pake handphone senior buat foto bareng ini. Kalian ngga salah liat koq kalo mahasiswa cowoknya cuma dua.


Di jurusan ini ada dua fokus, yaitu Kesetaraan Gender dan LGBT. Dari 7 mahasiswi, yang fokus ke isu LGBT hanya aku untuk tesisnya. Yaaaaah daripada ngga ada sama sekali ya khan? Perubahan jadwal kuliah dan tugas mingguan udah jadi makanan kami semua. Pusing baca jurnal, mata jereng karena menatap layar laptop terus, mulut berbusa karena hampir setiap minggu presentasi dll dsb. Sering presentasi membuat kami semua terbiasa berbicara di hadapan orang banyak, sering menulis paper dan makalah pun membuat keahlian menulis kami meningkat, dan sering adanya perubahan jadwal meningkatkan batas kesabaran kami. Dengan ini aku (dan mungkin teman-teman juga) menyatakan bahwa kami salut sama mahasiswa yang kerja sambil kuliah atau sebaliknya. Kami yang kuliah kelas reguler aja rasanya udah mau gila. 

Ntar setelah lulus, loe mau kerja di mana kak?

Pertanyaan bagus! Karena aku ambil S1 Hubungan Internasional, aku masih bisa coba daftar CPNS untuk Kemenlu, atau Young Professional Program milik United Nation alias PBB. Kalo belom rejeki? Aku mau coba cari kerja di Inggris (TETEP!), mau di museum kek, mau di gedung teater seperti Royal Albert Hall kek, aku mah hayuuuuk! Kalo belom rejeki juga? Kembali ke dunia agency advertising digital... di Eropa. YUK MAREEEEH!

Ngga sekali aku dapet komentar "banyak duit" karena lebih memilih kuliah lagi daripada kerja kantoran. Sini dek, kakak jelasin. Aku termasuk beruntung karena kedua orang tuaku sudah menyiapkan dana untuk anak-anaknya dalam dunia pendidikan, kedua orang tuaku ngga lulus kuliah, jadi wajarlah kalau mereka pengin anak-anaknya lebih sukses dari mereka. Lagipula, dengan ambil kuliah S2, setelah UAS bakal dapet libur sekitar 1,5 bulan. Orang kantoran jatah cutinya berapa lama? 21 hari? Dan kebanyakan ngga mau ambil semuanya langsung karena sayang ama jatah cutinya. Moonmaap pak, kami mahasiswa S2 kuliahnya ngga setiap hari, semester dua ini aku libur kuliah setiap hari Selasa. Sebagai orang yang paling anti ke mall pas akhir pekan buat nonton dan ngopi hore, libur kuliah di hari Selasa adalah surga karena bisa menikmati bioskop dan coffee shop dengan sepi. Memang, kami bayar cukup mahal per semesternya, tapi input yang kami terima sangatlah seimbang. Ngga hanya ilmunya, tapi teman-teman baru serta dosen-dosennya yang menjadi keluarga besar yang saling mendukung.

Yaaah, berarti loe ngga traveling lagi donk kak? 

Hweeeeeits, jangan salah. Ada yang namanya jatah absen, adik-adik tercinta. Setiap mata kuliah daper jatah 3 kali absen yang pasti aku gunakan saat minggu-minggu awal semester, sebelum UTS, dan menjelang UAS. Traveling dan ikut kegiatan relawan di luar kota masih tetep jalan koq, malah latihan lari dan freeleticsnya aja yang terbengkalai. Wk

Buat yang masih komentar soal "banyak duit" karena aku ambil kuliah tapi situ masih suka ngeluh soal kerjaan kantor, sudahlah, simpan saja argumenmu :3

#AmazingSanur: Kebaya Putih, Raksasa dan Milkyway (Bagian Kedua)

$
0
0
Hari raya Nyepi adalah salah satu hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap setahun sekali yang jatuh pada hari pertama Sasih Kedasa. Hari raya Nyepi dilakukan dalam rangka menyambut Tahun Baru Çaka. Dalam perayaan Nyepi dilakukan Penyucian Bhuana Agung dan Bhuana Alit untuk mewujudkan kesejahteraan, keseimbangan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan).

Satu hari sebelum melaksanakan Tapa Brata Penyepian, dilaksanakan parade Ogoh-ogoh dengan serangkaian upacara Tawur Kesanga sebelumnya, yang merupakan sebuah ekspresi kreatif masyarakat Hindu di Bali, di dalam memaknai perayaan pergantian Tahun Caka. Masyarakat menciptakan Ogoh-ogoh sebagai lambang sifat-sifat negatif yang harus dilebur agar tidak menggangu kehidupan manusia. Ogoh-ogoh yang diciptakan kemudian dihaturkan sesaji natab caru pabiakalan sebuah ritual yang bermakna nyomia, mengembalikan sifat-sifat Bhuta Kala ke asalnya. Ritual tersebut dilanjutkan dengan parade Ogoh-Ogoh, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama mengusung Ogoh-Ogoh mengelilingi jalan-jalan desa dan mengitari catus pata sebagai simbol siklus sakral perputaran waktu menuju ke pergantian Tahun Caka yang baru. Setelah ritual dan prosesi Ngerupuk tersebut Ogoh-Ogoh Bhuta Kala itupun dipralina, mengembalikan keasalnya dengan dilebur atau dibakar.

Terkait dengan upacara Tawur Kesanga dan ritual Ngerupuk tersebut, parade Ogoh-Ogoh mengandung dua makna yaitu mengekspresikan nilai-nilai religius dan ruang-waktu sakral berdasarkan sastra-sastra agama, dan merupakan karya kreatif yang disalurkan melalui ekspresi keindahan dan kebersamaan. Ogoh-ogoh yang merupakan simbol Butha Kala pertama kali dibuat pada tahun 1982 (sehari sebelum Tahun Baru Çaka 1904) di Desa Yehembang, Kecamatan MendoyoKabupaten Jembrana oleh Nyoman Mahardika dibantu oleh Ketut Wirata dan kawan-kawan. 

Parade Ogoh-ogoh adalah agenda rutin atau kegiatan rutin yang harus dilakukan menjelang perayaan hari raya Nyepi, tanpa adanya parade Ogoh-ogoh perayaan hari raya Nyepi terasa aneh.

Opening Festival

Mengingat peranan penting Ogoh-ogoh dalam perayaan hari raya Nyepi dan sebagai bentuk kreativitas remaja Hindu Bali dalam melestarikan adat, seni dan budaya, para panitia Festival Ogoh-ogoh di kawasan Mel Intaran Sanur tahun 2016 menyelenggarakan Parade Ogoh-ogoh yang bertajuk “Mel Ogoh-ogoh Festival I” yang dikemas dengan tampilan dan konsep baru yang diharapkan menjadi pengikat tali Persaudaraan antar Sekaa Teruna yang ada di wilayah Mel Intaran serta meningkatkan kreatifitas generasi muda di bidang seni dan budaya dengan diadakannya parade Ogoh-ogoh ini. Selain itu, melalui kegiatan ini, diharapkan mampu menarik perhatian wisatawan asing dan domestik untuk turut menyaksikan kegiatan ini, serta mampu menjadi icon tahunan unggulan di wilayah Denpasar, khususnya Sanur. 

The Ogoh-Ogoh

The Dancers

The Dancers with Fire

Pernah jadi fotografer konser ada untungnya juga, karena itu menjadikan aku terbiasa dengan keramaian dan kerusuhan yang ngga bisa diperkirakan kapan dan bagaimana akan terjadi. Aku memilih untuk memotret di bawah, karena lebih dekat dengan keramaian dan ogoh-ogoh yang akan lewat. Ukuran ogoh-ogoh yang dilombakan ada berbagai macam, saat dipamerkan ke juri-juri, para pengangkat ogoh-ogoh melakukan beberapa gerakan agar ogoh-ogoh yang mereka pemarkan terlihat dari berbagai sudut serta diuji kekokohannya. Sayangnya, ngga semua ogoh-ogoh bisa bertahan dengan sempurna karena ada beberapa yang roboh saat dilombakan. Saat para pengangkat ogoh-ogoh melakukan gerakan memutar, ngga sekali aku hampir terbentur ujung bambu yang menjadi penopang ogoh-ogoh yang besar dan berat itu. Kalo kena jidat ngga apa-apa deh, paling ujung-ujungnya benjol doank. Nah kalo kena kacamata atau kamera beserta lensanya? Kayaknya aku bakal nangis 3 hari 3 malem. 

The Fallen Ogoh-Ogoh

Di Festival Ogoh-Ogoh ini juga ngga lepas dari aksi tolak reklamasi Teluk Benoa yang masih ramai dibicarakan. Terlihat beberapa pemuda pengangkat ogoh-ogoh menuliskan "Tolak Reklamasi" di tubuhnya.

Tolak Reklamasi

Dan tahun ini adalah pertama kalinya buatku merayakan hari raya Nyepi di Bali bersama teman-teman di Sanur, dan juga mengalami Gerhana Matahari Sebagian. Mustahil buat melihat Gerhana Matahari Sebagian, tapi memotret Milkyway pertama kali dalam hidup di pantai Sanur? Ngga mustahil tuh :3

Milkyway in Sanur Beach

Ada Greek Yogurt di antara Kuliah dan Freeletics

$
0
0
"Nuriiii! Minum susuuuuuuuuu!"

Semenjak aku rajin olah laga lari sekitar 5 tahun lalu, aku selalu meminta ibu mengingatkan aku untuk minum susu di pagi hari, atau sebelum tidur. Sounds like a kid tapi menyehatkan, tapi berhubung agak sedikit bosan dengan susu full cream yang notabene bisa bikin aku gemuk meskipun sampai sekarang badanku masih segini-gini aja, jadinya aku beralih ke yogurt yang memiliki kemasan bisa diminum kapan aja dan di mana aja. Tahun 2017 lalu aku resmi menjadi mahasiswa (lagi) setelah sekian lama menunda untuk traveling dan menekuni olah raga lari dan freeletics, otomatis aku jadi punya rutinitas lagi setiap harinya *bye-bye traveling~ I'm gonna miss you so much!*.

Jadi inget waktu frozen yogurt happening alias laris manis beberapa tahun lalu, kalo diliat lagi sih mending mengonsumsi yang dikemas dengan praktis seperti Heavenly Blush Greek Yogurt ini. Teksturnya yang lembut dan padat serta rasa yang lebih tajam alias terasa banget asam yogurtnya, Heavenly Blush Greek Yogurt ini cocok banget buat pengganjal perut. Bukan, bukan pengganjal kayak pengganjal pintu biar tetep terbuka, bukan. Tapi sebagai pengisi perut buat kalian yang sarapan ngga sempat, ngga makan pun ngga mau. Oh iya, kadar gula yang terkandung di yogurt ini cukup rendah, jadi aman untuk dikonsumsi kapan aja tanpa khawatir akan kadar gula berlebihan dalam tubuh *kedip-kedip genit*


Bisa dibilang, aku orangnya pecicilan. Udah jadi mahasiswa (lagi), mending rutenya dari rumah ke kampus Salemba doank, semester ini rutenya dua kali seminggu dari rumah ke kampus Depok, sist! Gempor dah tuh kaki dan tulang-tulang lainnya. Ditambah lagi seminggu dua kali aku latihan lari dan freeletics setelah bubar kuliah, makin gempur deh tuh tulang badan. Eh, ngga cuma tulang dink, pola makan juga jadi agak berantakan. Ya mau gimanaaa~ pagi-pagi berangkat ke kampus, menembus kemacetan kota Jakarta yang tiada akhir. Makan itu penting, tapi memperhatikan pencernaan itu juga sama pentingnya. Nah, kebaikan dari bakteri asam laktat yang ada di Heavenly Blush Greek Yogurt ini bisa melancarkan pencernaan, cocoklah buat aku yang susah pu... *sinyal ilang*

Yogurt itu menyehatkan karena kadar protein yang tinggi (tidak setinggi badanku, tentunya) serta karbohidrat yang lebih rendah yang terdapat di dalamnya dapat menjaga kesehatan tubuhmu. Paduan olah raga dan mengonsumsi makanan sehat adalah kunci untuk tetap bugar dan awet muda. 

Tunggu, kak. Kak Nuri khan kuliahnya hampir setiap hari, emang masih sempat olah raga di sela-sela kesibukan?

Tentu sempaaaat, kalo udah suka ama hobby yang kita tekuni mah pasti ada aja waktu yang kita dapat. Aku kuliah hampir setiap hari, kuliahnya ada yang di kampus Depok, ada juga yang di kampus Salemba. Jam kuliahnya pun ada yang dari pagi sampai sore, bahkan ada juga yang sampai malam. Nah, caraku untuk tetap konsisten olah raga adalah menetapkan hari di mana kuliahku selesai di sore hari, jadi setelah dari kampus bisa langsung lanjut olah raga di tempat biasanya. Jangan salah, hari Sabtu pagi aku juga olah raga bareng teman-teman biar saling memotivasi, dan aku memilih mengonsumsi yogurt sebelum memulai olah raga karena kalau ingin makan berat sebagai "bahan bakar tubuh" untuk olah raga, lebih baik mengonsumsi makanan yang rendah lemak serta kalori, sekitar 3 hingga 4 jam sebelum olahraga, seperti roti gandum dengan telur atau sereal dengan susu. Oh iya, makan 15 hingga 30 menit setelah melakukan olahraga merupakan waktu yang ideal untuk mengganti energi dalam tubuh. Sebaiknya mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat untuk mengganti glikogen dalam tubuh dan protein untuk membantu tubuh membangun massa otot. Jadi, olah raga di sela-sela kesibukan itu masih bisa dilakukan, yang ngga bisa dilakukan itu di sela-sela pintu, SEMPIT SIST! #LaluDijitakBerjamaah

Berarti kak Nuri olah raganya malam donk?!

Untuk hari biasa, iya aku olah raga di malam hari karena aktivitas yang cukup menguras emosi dan dan air mata (baca: kuliah) dari pagi sampai sore, karena menurutku lebih baik mengutamakan untuk terus aktif bergerak kapanpun aku bisa, daripada ngga melakukannya sama sekali.

Sayangnya, dua minggu lalu aku jatuh dari tangga sehingga kaki kananku belum bisa aku pakai lari untuk sementara waktu. Sambil nunggu pulih, aku memanfaatkan waktu dengan makan makanan yang membantu memulihkan kondisi tulangku, nonton film di bioskop (PENTING INI, GAES!), dan ngemil sehat dengan yogurt. Duh, kalo ngemilnya pake granola enak banget kali yah? Hhhmmm... *cek dompet lalu meluncur ke supermarket*


Btw, Heavenly Blush lagi ngadain kompetisi blog bertema #HeavenlyBlushGreekSecret dengan hadiah utama:

SATU PAKET TRIP KE YUNANI

Aaaaaahhhh~~~~ aku juga pengin ke Yunani! Belom pernah ke sanaaaa! Tapi apa daya aku masih kuliah dan baru lulus tahun depaaaan *nangis bombay*. Oh ngga hanya itu, masih ada hadiah lainnya! Caranya? Kamu cukup menceritakan gaya hidupmu yang sehat dan bugar dengan yogurt melalui tulisan di blog kamu. Informasi lengkapnya ada di https://challenge.cchan.tv/greeksecret, ikutan ya! Kalau kalian menang hadiah utama, ceritain ke aku Yunani kayak gimana yaaaa. Ya? Ya? Ya? *peluk draft tesis*

Ngomong-ngomong, kelihatan ngga kalo usiaku sebentar lagi 30 tahun? 

Oh ya, harga Heavenly Blush Greek Yogurt ini cukup terjangkau untuk mahasiswa. Jadi meskipun kalian sibuk dengan tugas kuliah, ngejar deadline skripsi atau tesis, energi kalian terkuras karena begadang menjelang sidang tugas akhir, kesehatan dan pola makan jangan lupa diatur yah. Kesehatan kalian sangatlah penting, apalagi kalau kalian anak rantau dan anak kosan #SabdaMantanAnakKosan.

Menginjak Usia 30 tahun: Lalu Apa?

$
0
0

Melewati Quarter Life Crisis ternyata tidak semudah yang aku kira, bertahan selama 5 tahun menuju usia 30 tahun butuh ketahanan mental dan batin yang sangat kuat. Buat yang mengenalku, mungkin kalian melihat aku adalah sosok yang pecicilan, periang, dan mudah bergaul. Tapi dibalik itu, aku berjuang keras melawan trauma dalam dua hal: Pacaran serius dan gempa. Inilah alasannya...

Di tahun 2014, aku seharusnya menikah tetapi mantan pacarku membatalkan semua rencana pernikahan kami sekitar dua bulan sebelum hari H. Ya, dia mengakhiri hubungan tanpa alasan yang jelas. Patah hati? Sangat. Tapi patah hati yang dirasakan bapakku melebihi siapapun, termasuk aku. Saat itu usiaku 26 tahun. Aku kehilangan arah, karena pada saat itu aku sudah membulatkan tekadku untuk menikah dan berkeluarga, mengorbankan impian untuk melanjutkan pendidikan dan bekerja di institusi yang aku pengin demi memiliki suami dan anak. Aku sempat bertanya kepada diri sendiri,

"salahku di mana sampai dia pergi?"

"aku kurang apa sampai dia ngga mau nerusin hubungan ini?".

Dengan kejadian itu, aku juga memutuskan untuk melepas hijab yang sudah aku pakai selama 7 tahun. Bukan berarti kepercayaanku kepada Tuhan mendadak hilang karena semua rencana tidak berjalan sebagai mana mestinya, tetapi tekanan batin yang aku rasa semakin besar. Dengan memakai hijab aku harus bertutur kata halus, menjauhi rokok dan minuman keras yang aku rasa akan menjauhi "seorang Nuri yang sebenarnya" 


Aku merasa uang yang sudah aku kumpulkan sebagai modal berumah tangga ngga akan berguna, tapi setelah wisuda sarjana, aku minta izin bapakku untuk pergi traveling seorang diri dengan waktu yang cukup lama, yaitu selama 7 minggu. Bapak memberi izin dengan mudah karena beliau tau aku sangat membutuhkannya. 





Aku pulang membawa banyak cerita buat banyak orang dan aku menemukan traveling adalah adiksi yang sangat berbahaya, dengan tabungan yang masih tersisa, aku memberanikan diri untuk pergi ke Nepal seorang diri dan mengikuti kegiatan relawan selama satu bulan lamanya. Ada yang bilang, traveling adalah caraku untuk lari dari kenyataan karena aku masih ngga bisa terima kenyataan bahwa keinginanku untuk menjadi seorang istri dan ibu sudah ngga lagi di depan mata, sudah hilang entah kenapa, aku percaya Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik. Ternyata benar, selain memiliki kesempatan untuk mengunjungi tempat baru, aku juga berkenalan dengan orang-orang baru.





Tahun 2015, Nepal diguncang gempa yang sangat besar. Beberapa jam setelah gempa pertama terjadi, aku sedang tidur di rumah di mana aku ditempatkan di saat menjalani program relawan. Mengalami gempa saat berada di bawah alam sadar ternyata membuat guncangan 5 sekian skala Ritcher melekat erat di kepala dan jantung. Tahun ini, tahun 2018, aku masih reflek berlari keluar ruangan atau gedung jika meja, kursi atau ruangan (terasa) bergetar hebat. Ya, sampai sekarang kejadian itu masih melekat di hidupku, sampai entah kapan.

Seperti yang aku bilang, traveling adalah adiksi yang berbahaya. Tiga tahun setelah wisuda di tahun 2014, aku menghabiskan waktu dan uang dengan traveling saja. Belanja baju dan gadget tersingkirkan begitu saja karena aku lebih memilih menabung dalam bentuk waktu dan uang. Capek? Ternyata ada saatnya juga aku capek. 

Di usia 28 menuju 29 tahun, aku memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang pasca sarjana karena aku masih ingin bekerja di institusi yang aku mau atau bekerja di luar negeri, aku merasa gelar sarjana saja tidak cukup. Dengan pengetahuan yang pas-pasan dan kondisi badan yang sedang tidak bagus saat SIMAK di tahun 2017, aku dinyatakan lulus untuk menjalani program pasca sarjana jurusan Kajian Gender di Universitas Indonesia.


Kalau kalian mikir aku pintar, kalian salah besar. Aku cuma sedang beruntung, itu saja. Perjuangan melawan tekanan fisik dan mental belum berhenti. Panic attack yang sering aku alami di tahun 2016-2017 ternyata masih datang kapan saja, ngga tau waktu apalagi tempat. Aku berusaha menjadi orang yang tenang karena marah dan protes ngga akan mengubah keputusan Tuhan akan hidupku. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha semaksimal mungkin agar rencana hidupku berjalan sebagai mana mestinya. Di sisi lain, aku menjadi orang yang egois dan masa bodoh dengan perasaan orang sekitar. Aku menjadi terbiasa dengan komentar orang bahwa mulutku jahat dan perlakuanku terlalu to the point terutama ke cowok-cowok. Lalu aku sadar bahwa aku melakukan sesuatu karena aku over protective terhadap diri sendiri. Ibaratkan anime Shingeki no Kyojin, aku membuat dinding berlapis-lapis untuk melindungi diriku sendiri, cuma seorang titan yang bisa menerobos semuanya sampai pusat. Aku bersyukur karena belum ada yang bisa melakukannya. Seorang teman menyarankanku untuk konsultasi ke ahlinya, tapi aku masih belum bisa percaya kepada siapapun, kecuali temanku ini. Dia adalah adiksi berbahaya yang kedua. Terkadang, terlalu nyaman itu kurang ajar, bisa bikin lupa diri.

Olah raga lari masih menjadi pelarian ketika otakku butuh pelepas penat, karena merasa kurang, aku menambah freeletics dan TRX sebagai olah raga yang bisa membuatku tumbang dan melepas emosi. Aku masih menabung waktu dan uang agar bisa traveling lagi seperti sebelumnya. Beruntung orang tuaku tidak menekankan aku untuk segera menikah karena mereka tau aku masih trauma dan belum siap untuk pacaran serius lagi. 


Inilah aku, menginjak usia 30 tahun di tahun 2018 di tanggal 25 Juni. Lalu apa? Lulus kuliah dan mencoba untuk mendapatkan pekerjaan impian seperti tekadku sebelumnya, karena apa? Karena punya hutang sama diri sendiri itu ngga enak, urusan jodoh di dunia dan akhirat, itu hanya Tuhan yang tau.

I'm not asking you to understand what I'm struggling with, and I'm not asking for any birthday presents either *siape juga yang mau ngasih, nyet!*. But all I ask is, if you're having the same struggle like I am now... hang on, people! You are not alone. I'm with you.

Panic Attack, Anxiety Problem and Failure

$
0
0
Aku menulis ini ditemani lagu-lagu yang sudah aku susun dan secangkir es coklat di coffee shop biasanya, mencoba untuk menulis apa yang ingin aku tulis meskipun ngga banyak orang yang akan membacanya karena selera yang berbeda. Itu hak kalian. Tapi menulis adalah salah satu hal yang aku lakukan agar isi pikiran dalam kepala tidak menumpuk, begitu juga dengan suara hati.

Di tahun 2015, aku mengalami panic attack yang sangat hebat dan itu masih menyerang hingga sekarang, biasanya menyerang ketika aku berada di situasi yang sangat tidak nyaman. Buat sebagian orang, panic attack adalah wajar meskipun tanda-tanda atau efeknya berbeda. Sayangnya, tidak semua orang bisa membantu atau mengatasi seseorang yang mengalami panic attack. Beberapa bulan lalu aku terserang panic attack karena aku mendadak harus berhadapan dengan orang banyak (ngga banyak sih, cuma 5-6 orang, tapi menurutku itu banyak, apalagi kalo mereka berisik), dan aku sedang bersama teman yang baru pertama kali melihatku diserang panic attack. Dia panik, bingung harus ngapain. Akhirnya aku mengatasinya sendiri meskipun hampir menyerah (baca: pingsan), saat itu hampir pukul 10 malam, mustahil buatku untuk pulang sendirian, akhirnya temanku mengantarku pulang setelah acaranya selesai. 

Makin ke sini, panic attack yang aku alami semakin terasa menyiksa. Aku mengalami gangguan tidur selama dua minggu, kalaupun bisa, aku hanya bisa tidur selama 3-4 jam saja. Menangis sebelum tidur dan sesudah bangun tidur menjadi hal yang biasa, aku masih bisa toleransi selama tidak mengganggu pola makan dan kegiatan sehari-hari. Memasuki minggu kedua, akhirnya aku tidak bisa menoleransi panic attack yang aku sadari berubah menjadi anxiety problem. Hal itu membuatku menolak keluar rumah, bahkan menolak keluar kamar selama tiga hari. Sampai pada akhirnya salah satu teman dari komunitas lari menyadari ada yang ngga beres denganku. Setelah aku mengungkapkan beberapa masalah yang sedang dan selama ini aku alami, dia memaksaku untuk keluar rumah meskipun hanya sebentar karena dia khawatir aku bakal melakukan hal yang berbahaya. Dengan segala usaha, akhirnya aku keluar rumah dan bertemu dengan dia di hari latihan lari kami. Kami saling berbagi pengalaman, dia mendengarkan aku bercerita, dia melihatku menangis, dan dia menawarkan tangannya untuk aku pukul sampai aku puas.

Mungkin kalian merasa heran karena kemarin aku terlihat sangat bersenang-senang nonton Lorde di We The Fest 2018, lalu nulis kayak begini. Tenang, kedua hal ini ada hubungannya.

Kemarin ada yang bilang di Twitter, kalau dia pengin aku nulis tentang pengalaman-pengalaman nonton konser musisi kesukaanku. Dengan perasaan khawatir bahwa anxiety ku bisa datang kapan saja, aku tetap memutuskan untuk pergi ke We The Fest meskipun aku sempat berpikir untuk pulang. Lalu apa yang membuatku tetap ingin pergi?

Di tahun 2011 sampai 2014, aku berkontribusi untuk media online bernama Gigsplay dan Jazzuality sebagai fotografer. Sebuah kontribusi sebagai fotografer yang membantu orang-orang menggambarkan acara musik atau konser yang ada di Jakarta dan Bandung. Melalui kontribusi itu, aku bisa berkenalan dengan musisi-musisi hebat, dari musisi indie label seperti The Trees and The Wild (yang mana Iga Massardi sekarang tergabung dalam band Barasuara) dan juga Tulus, sampai musisi besar seperti Tompi. Mereka ini orang-orang hebat yang (menurutku) juga tidak akan luput dari masalah yang sekiranya membebani pikiran mereka, mungkin beban pikiran itu membuat mereka ingin berhenti berkarya atau malah terus berkarya karena itu adalah "obat" mereka.

Di We The Fest 2018 hari pertama, aku ngga sengaja bertemu dengan Tulus, penyanyi kesukaan yang selalu aku foto di atas panggung selama dua tahun. Aku menyapanya, dan dia memberi sapaan dan pelukan yang sangat hangat. Ah, dia masih ingat denganku dan menganggapku sebagai temannya, bukan sebagai penggemar atau fotografer yang selalu berada di depan panggung untuk memotret dia saat menyanyi. Begitu juga dengan Iga Massardi, mengobrol singkat dan akrab sering kami lakukan jika kami bertemu di sebuah acara musik. Ya, mereka mengenalku melalui foto-foto mereka hasil karyaku. Mereka masih mengingatku. Beruntung bukan? Penampilan Lorde di We The Fest 2018 berhasil membuatku bernyanyi dengan lantang, berteriak dari hati yang terdalam, dan itu membuatku puas. SANGAT PUAS.

Karena anxiety problem, keinginanku untuk melanjutkan hobby lari dan fotografi sempat hilang begitu saja. Melihat sepatu lari dan kamera pun aku ngga mau. Sempat ingin menyerah saja rasanya, tapi sayangnya (atau beruntungnya) aku tipe orang yang memikirkan segala hal dalam jangka panjang. Sempat mengalami panic attack terhebat dalam hidup karena aku berpikir keras, berusaha mengingat hal-hal menyenangkan yang bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa bahagia untuk mengalahkan hal-hal buruk yang pernah atau sedang aku alami sampai saat ini, termasuk ikhlas dalam melepaskan seseorang yang masih sangat dekat secara keberadaan. Aku berusaha untuk menyelesaikan masalahku satu per satu dengan tenang dan sabar meskipun itu menyiksa.

Suatu hari aku kembali melihat foto-foto di akun Instagramku. Hampir semua tempat yang aku inginkan sudah aku injak, konser yang sejak lama aku incar sudah aku datangi, hidupku kurang apa? Kurang bersyukur? Mungkin. Harusnya aku bersyukur karena masih bisa merasakan sakit.

"Wah, Nuri berani ya ke luar negeri sendirian!"

"Loe nonton konser sendirian? Nekat juga!"

Ngga, aku ngga nekat. Aku cukup berani, kalau aku boleh bilang tentang diriku sendiri. Mengumpulkan keberanian memang butuh waktu, mengumpulkan uang lebih memakan waktu lagi. Lalu apa pemicu yang membuatku ingin pergi nonton konser atau melakukan sesuatu yang agak sulit untuk dilakukan bersama atau untuk orang lain?

Pertanyaan yang sederhana untuk diri sendiri, yaitu...

"Kapan lagi?"

Mengantar sahabat ke pelaminan.

 Kesampaian ke Jepang bareng teman-teman.

Kesampaian nonton konser U2 di London, impian sejak SMA.

Menjadi relawan di pelosok Indonesia

Selama aku berjuang melawan keinginan untuk bunuh diri, aku menyadari bahwa keinginan untuk mengejar impian-impian yang aku punya dan impian-impian yang belum terwujudlah yang membuatku masih bernafas dan masih ada keinginan untuk hidup sampai detik ini. Mungkin aku kehilangan banyak teman karena aku sengaja tidak mempertahankan mereka, karena semakin banyak orang yang aku punya, peluang untuk tersakiti juga banyak meskipun terkadang sakit hati atau kecewa disebabkan oleh harapan yang terlalu tinggi terhadap seseorang atau orang banyak. Mungkin suatu hari nanti aku bakal benar-benar hancur ketika panic attack ku kambuh lagi dan aku lebih memilih mengatasinya sendirian. Aku sempat bergantung dengan seseorang dan itu membuatku makin tidak bisa mengendalikan emosi ketika dia ngga ada buatku sepenuhnya. Dalam rahim ibu, aku sendirian. Di dalam liang kubur nanti, aku juga sendirian. Jadi ngga ada salahnya ketika menjalani hidup ini juga seorang diri, nantinya kesendirian dan kesepian menjadi hal yang biasa. 

Aku tidak pengin membebani seseorang sampai nanti akhirnya nanti dia bertanya, "Apa jadinya kamu tanpa aku?". Habluminallah, meskipun aku manusia yang sudah berbuat dosa yang ngga terhitung (dan akan terus bertambah), aku masih punya Allah SWT. Habluminannas, lebih baik aku sendirian daripada tersakiti, menyakiti, dan mengecewakan orang lain meskipun niat mereka baik. Iya, aku skeptik soal itu. Jodoh? Itu hanya Tuhan yang tau. Jangan ngomong soal jodoh ke aku karena aku pernah gagal sekali dan aku ngga ingin itu terulang lagi

Aku bisa kuat karena pernah hancur sebelumnya. Aku bisa bertahan karena aku masih ingin. 

Apa aku masih menangis sebelum tidur atau setelah bangun tidur? Masih. Apakah aku masih ingin traveling tahun depan sesuai rencana sebelumnya? Tentu masih. Melihat peta dan merencakan perjalanan yang entah kapan bakal terlaksana itu menyenangkan, setidaknya aku punya rencana dalam jangka panjang yang harus aku jalani untuk bertahan hidup. Aku tidak ingin semua rencanaku gagal. Memang benar kata J.K Rowling, 

"... Climbing out of poverty by your own efforts, that is indeed something on which to pride yourself, but poverty itself is romanticised only by fools. What I feared most for myself at your age was not poverty, but failure. ”

Untuk Aku dan Kamu yang Akan atau Sudah Berusia 30 Tahun

$
0
0
Ternyata menyenangkan, bisa keluar dari kota Jakarta untuk sementara waktu. Makanan murah dan banyak coffee shop yang ngga jauh dari kosan, serta tempat wisata yang bisa aku kunjungi di hari kerja membuatku merasa sedikit tenang dan bebas. Senang bisa ketemu teman-teman yang tinggal di sini, kami bertukar cerita dan melepas rindu yang tertahan sekian lamanya. Ternyata keluar dari zona nyaman memang yang aku butuhkan untuk sementara waktu sebelum rutinitas kembali menyerang.

Hhhmmm… apa yang bisa aku katakan lagi tentang Jogjakarta?

Kenangan buruk di Jogja? Sejauh ini tidak ada, menemukan cinta juga belom *AZEGH*

Oh ya, kemarin ada yang minta aku untuk nulis tentang ini



Buatku, titik balik dalam hidup seseorang, entah itu laki-laki atau perempuan ada di usia 25 atau biasa disebut Quarter Life Crisis. Banyak yang bilang itu mitos belaka, tapi buatku, itu nyata. Kenapa bisa begitu? Usia 25 adalah usia di mana laki-laki dan perempuan mulai atau sudah memikirkan matang-matang soal karir, aset hidup (baca: tabungan jangka panjang) dan juga jodoh atau percintaan.  Aku berasal dari keluarga Jawa, yang mana buat mereka usia 25 tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk menikah, bahkan untuk perempuan, usia segitu bisa dibilang "cukup tua" untuk menikah. The pressure was real ketika keluargaku menilai demikian, tapi soal jodoh ya aku sendiri serahkan ke Tuhan, daripada menikah demi status dan gengsi tanpa memikirkan kesiapan dan kematangan diri dari sisi fisik, mental maupun finansial, itu sama saja bunuh diri karena bisa saja kamu mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk apapun. 

Menurutku, entah kamu masih dibiayai orang tua atau sudah bekerja secara mapan, menabung adalah hal yang sangat penting, apalagi kalau kamu termasuk orang yang idealis, visioner dan punya rencana jangka panjang seperti akyuuuuuh.

Aku lahir dan besar di keluarga yang serba cukup. Segala macam dibiayain dan dibeliin bapak, mulai dari kebutuhan dan keinginan karena menurut bapak, selama aku belum menikah, aku masih tanggung jawab bapak dan aku dididik untuk ngga minta dibayarin oleh orang lain, bahkan dibayarin makan sama pacar sekalipun, dalam hal kencan pun beliau memintaku untuk patungan, split bill atau gantian yang bayar dengan pacar, karena jika segala macam aku dibayari pacar kahawatir nantinya bakal perhitungan dan itu sangat masuk akal buatku. Karena hal itu, bukan berarti aku bisa minta segala macam ke beliau karena aku tau kemampuan beliau dalam mencari uang juga terbatas, dan bukan karena itu juga aku menunda menikah. Aku menabung gila-gilaan mulai usia 27 tahun, entah itu untuk traveling, belanja make up, baju atau sekedar makan enak. Aku sendiri juga masih bekerja sebagai freelance fotografer meskipun penghasilannya ngga seberapa dan sehari-hari masih diisi dengan kuliah.

Perempuan yang akan atau sudah menginjak usia 30 tahun tapi masih single tapi happy dan pekerjaan juga mapan pasti bakal tetap dinilai ada yang salah karena belum menikah. Menikah adalah pilihan, bukan karena paksaan budaya dan adat. Beberapa dari kalian pasti ada yang sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan hubungan beda suku bangsa bahkan beda agama. Girls, I've been there and done that. Ketemu dan cocok yang seagama, malah putus karena perbedaan budaya. Ketemu dan cocok sama yang sebudaya, eeeeeh beda agama. Ketemu dan cocok sama yang beda budaya tapi beda agama, pada akhirnya restu orang tualah yang berkata lain. Kesal? Sudah pasti. Apalagi beberapa bulan setelah itu orang tua kembali nanya, "Nuri, kamu belom punya pacar baru?" atau "Nuri, kamu masih pengin nikah khan?".

YA MENURUT NGANA AJAAAAH?!

Kalau ngga dipikir dalam-dalam, pertanyaan-pertanyaan itu sangatlah mengganggu. Tetapi jika dilihat lagi, aku menjadi paham bagaimana perasaan bapak ibu melihat anaknya yang menganggap enteng soal menikah dan lebih mengutamakan pendidikan serta traveling, menikah tidak menjadi prioritas lagi buatku. 

Aku punya kakak dan adik laki-laki, ya, aku anak tengah dan perempuan satu-satunya. Setelah kakakku punya anak, aku sempat berpikir bahwa orang tuaku sudah merasa lengkap karena punya cucu (sampai tahun 2018 ini, kakakku udah punya 3 anak). Setelah ngobrol banyak dengan beberapa teman dekat (yang mana juga sebagai bentuk perlawananku terhadap panic attack yang sering aku alami belakangan ini, yaitu dengan kembali bersosialisasi), akhirnya aku benar-benar tahu dan sadar akan maksud dari pertanyaan dan harapan bapak dan ibuku tadi. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga, dan akan menjadi satu-satunya momen di mana bapakku nanti akan menjadi wali nikah dan mengucapkan "Saya nikahkan dan kawinkan anak saya, Nuri Arunbiarti binti....". Yap, kata "binti" akan diucapkan oleh bapakku hanya sekali dalam seumur hidup.

Memang, terkadang kita merasa hidup kita dikendalikan oleh orang tua demi kebahagiaan mereka tanpa memikirkan kebahagiaan kita sama sekali. Di usia 28 tahun, aku mengungkapkan keinginanku ke bapak dan ibu bahwa aku ingin meneruskan pendidikan, kembali traveling setelah lulus dan mencari kerja di luar negeri. Mereka kecewa? Mungkin. Tapi semakin dewasa kami, terutama aku dan bapak, kami saling mengerti satu sama lain. Kami mencoba untuk bicara dari hati ke hati. Akhirnya bapak mengerti, bahwa aku masih bisa bahagia dengan mengejar cita-cita dan mendapatkan impian yang aku tanam dalam hati dan niat sejak masih di bangku SMA. 

Menurut obrolanku dengan teman-temen dekat, hidup di usia menjelang atau sudah menginjak usia 30 tahun itu semua tentang komitmen dan kompromi, entah dengan seseorang atau dengan sesuatu. Kalau soal pasangan, aku selalu kembali lagi ke ucapan teman baikku, Christopher Tobing

"Jangan pacaran/menikah cuma karena loe pengin seseorang mengisi kekosongan yang loe punya, tapi karena loe dan dia ingin saling memberi apa yang kalian punya. Dan pastikan loe sendiri udah bahagia, karena kalo loe bahagia, loe tetep bahagia meskipun ngga ada dia"

Perasaan dan pikiranku tertampar keras karena ucapan dia benar adanya. Sebelum aku mendengar kata-kata itu dari mulut dia, aku merasa masih berat untuk merelakan hubungan paling sempurna dan paling nyaman yang aku pernah punya meskipun berakhirnya hubungan itu menjadi pemicu terbesar dari anxiety problem yang aku punya selama ini. Beban hidup langsung terangkat dari kedua bahu, rasa berat langsung hilang dari dalam hati. Aku mencoba melihat kembali dua tahun belakang di mana seorang Nuri bisa bahagia dengan keadaan yang dialami dan dengan apa yang dimiliki. Sampai tahun 2017 aku masih bisa bahagia karena tau bagaimana mendapatkan dan mempertahankannya, yaitu dengan traveling dan fotografi. Menjadi orang yang paling bahagia di dunia karena sudah bertemu dengan orang yang sangat nyaman, dan mendadak sedih dan ingin bunuh diri karena orang itu pergi dengan keadaan yang sangat tidak adil itu bukan aku, that's not the best nor the worst version of me

Setelah mendengar ucapan Christopher itulah, aku sangat sadar bahwa selama dua tahun ke belakang dan sebelum hubungan sempurna versiku itu kandas, aku bahagia karena "apa", bukan karena "siapa".

Di saat aku menulis ini, aku masih berjuang melawan anxiety problem yang masih mengikutiku kemana-mana. Aku berusaha keras menumbuhkan niat untuk kembali hunting foto seperti dulu, karena buatku fotografi adalah ajang emotional release. Jangan meremehkan hobby yang kamu punya, entah itu satu atau lebih dari dua, karena suatu hari hobbymu akan menyelamatkanmu dari patah hati, keputusasaan, bahkan pikiran dari bosan hidup.

Sebulan di Yogyakarta: Menjauh dari Jakarta demi Kewarasan

$
0
0
Kembali menjadi mahasiswa dan juga bekerja sebagai fotografer lepas (freelance photographer) ada enak dan ngganya.

Enaknya:
  • Waktu kuliah fleksibel, saking fleksibelnya dalam seminggu bisa ngga ada kuliah karena jadwal dosen yang berantakan.
  • Waktu luang lebih banyak karena dalam sehari bisa cuma dikasih 3 SKS
  • Bisa bangun siang kalau kuliah dimulai sekitar jam 1 atau 2 siang
  • Pengetahuan bertambah, begitu juga dengan teman dan koneksi
  • Libur semester gasal lebih dari dua minggu, libur semester genap lebih dari dua bulan
  • Bebas nongkrong pas weekdays, ngga usah nunggu weekend untuk nongkrong hore

Ngga enaknya:
  • Keluar duit lagi setiap semester
  • Buang waktu, uang dan tenaga kalau udah di tengah jalan baru dapat kabar dosennya ngga bisa masuk
  • Deadline ngga mundur meskipun dosen ngga masuk kuliah dan menyebabkan pembahasan materi jadi terlambat atau jadwal makin berantakan. Satu semester ada lima mata kuliah. Nah sekarang tau khan kenapa aku bisa sampe punya anxiety attack?
  • Nongkrong sih bebas, bisa pas weekdays, nah kalo temen-temen nongkrong kebanyakan adalah yang kerja kantoran, mau ngga mau nunggu mereka bubar kantor atau weekend. MAMAM TUH MACET!

Lalu, apa hubungannya poin-poin di atas dengan judul tulisan ini? Jadi gini... *benerin posisi duduk*. Setelah lulus kuliah S1, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan traveling, baca buku sambil ngopi dan mencari uang jajan tambahan dengan menjadi fotografer lepas karena ibuku pensiun dini dan beliau butuh salah satu anaknya untuk nemenin kemana-mana, yaitu aku yang banyak nganggurnya. Karena orang tuaku termasuk liberal dan demokratis *ecieeeeeh*, aku diberi kebebasan untuk menghabiskan waktu dengan caraku sendiri asalkan pulang dalam keadaan sober alias ngga mabuk berat. Sebagai pengangguran hore alias kerjanya akhir pekan doank *saat itu*, aku sering jadi partner makan siang teman-temanku yang bekerja kantoran selama bertahun-tahun. Berbagai macam obrolan kami bahas meskipun kami hanya punya waktu satu jam. Biasanya yang aku lakukan adalah menentukan di mana kami mau makan siang, tanya ke teman dia mau makan apa biar bisa aku pesankan jadi dia tinggal makan begitu dia datang dan itu akan menghemat waktunya. Kalimat pembuka yang sering aku ucapkan ke temanku adalah, "how's work? / Bagaimana kerjaan?". Ngga sedikit yang mengeluh dan berujung pengin resign. 

Sebagian besar dari teman-temanku adalah laki-laki. Mereka bekerja selama bertahun-tahun, dengan keluhan yang menumpuk serta jatah cuti yang masih utuh, dilakukan karena ingin menabung tapi  mereka lupa untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan yang membabi-buta *kasih tongkat jalan ke babinya* alias liburan.

"Loe mah enak, Ri. Ngga kerja. Ngga ada tanggungan, segala macem masih dibiayain", sebagian besar bilang seperti itu ke aku.

"Emang sih ngga ada tanggungan karena gue masih tinggal ama orang tua, gue melakukan apa yang pengin gue lakukan karena mumpung masih bisa dan masih punya waktu, daripada nyesel di hari tua", jawabku. 

Tidak sedikit pula orang yang memberi komentar kalau aku traveling karena aku berasal dari keluarga mampu. Poinku bukan pada uang atau materi lainnya, melainkan waktu. Waktu bapakku seumuranku, alm kakek sering mengajaknya traveling untuk melihat dunia sehingga ada yang dia ceritakan ke anak cucunya, yang mana adalah benar, bapak punya segudang cerita dan pengalaman traveling bersama alm kakek. 

Semenjak mulai menghemat, aku lebih memilih traveling ke beberapa bagian di Indonesia untuk kegiatan relawan biar ada faedahnya. Memang sih, aku ngga dibayar. Tapi pergi ke beberapa bagian di Indonesia sambil membantu orang lain itu menyenangkan, apalagi pergi ke daerah yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. 

Komentar yang mepet ke negatif masih mengalir setelah aku unggah foto di Instagram, terutama di saat makan siang atau ngopi bareng teman. Mereka bilang capek kerja, tapi cuti ngga pernah dipake dengan alesan sayang bukan karena ngga punya uang untuk liburan. WOI! Istirahat dari pekerjaan dengan ambil cuti ngga harus pergi jauh-jauh, ngga harus menjadikan foto-foto di Instagram sebagai panutan atau persaingan di alam bawah sadar. Sewaktu aku ambil summer school di London dan (sempet) pacaran sama orang asli sana, aku sempat melakukan hal yang ngga biasa ke pacar, yaitu memintanya cuti sehari di hari kerja. Untuk apa? Untuk mengajak dia mengunjungi museum di saat sepi. Aku melakukan itu karena dia merasa jenuh di kantor, mau pergi keluar pas weekend juga kota ramai ngga karuan. Aku senang bisa melihat rasa jenuhnya menghilang setelah kencan ke museum berakhir dan suatu hari kami berjanji akan melakukannya lagi. Melihat teman-teman di Jakarta mengalami hal yang sama, aku mencoba melakukan hal yang serupa, tapi sayangnya mereka lebih takut sama deadline daripada kewarasan mereka yang hampir hilang. 

Saat ini aku sedang berada di Jogja untuk penelitian tesis sambil liburan, kemarin aku sudah memasuki minggu kedua, dan aku masih punya waktu dua minggu lagi untuk kembali ke Jakarta. Apa yang bisa aku bilang tentang Jogja selain menyenangkan, ramah dan makanannya murah? Selain itu, Jogja memberiku aura yang berbeda. Sangat berbeda. Di sini aku merasa lebih bebas dan lepas karena semuanya berbeda dari Jakarta, padahal masih berada di pulau yang sama. Aku sengaja memilih tinggal agak lama di Jogja agar aura negatif di Jakarta rontok semua dan di sini aku merasa jauh lebih... waras. Rasanya menyenangkan bisa bertemu lagi dengan teman-teman yang sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun, masih bisa jajan enak di Pasar Beringharjo, dan yang lebih enaknya lagi... Jogja tidak sepadat Jakarta. Iya, di sini aku (hampir) kembali waras. 

Sampai sekarang aku masih suka membujuk beberapa teman untuk cuti sehari di hari kerja untuk menikmati kota Jakarta di pagi sampai sore hari, yang mana mereka lewatkan selama bertahun-tahun bekerja. Aku pengin mereka menikmati betapa enaknya nongkrong di coffee shop kesukaan kami di saat sepi-sepinya, atau berkunjung ke museum yang dari dulu ingin mereka kunjungi, atau ke perpustakaan, atau bahkan movie marathon, menonton semua film yang ingin mereka tonton. 

Iyah, hidupku enak karena sekarang aku masih punya waktu tiga minggu lagi sampai memasuki hari pertama semester baru. Aku bahagia dengan apa yang aku lakukan, karena apa? Karena aku mengikuti kata hati, aku ingin, dan aku butuh. Setiap kali aku punya keinginan yang pasti berhubungan dengan waktu, aku selalu bilang kepada diriku sendiri, "mumpung masih bisa nih!", atau "mumpung gue masih punya waktu nih".

Use your chance wisely, guys. Apalagi kalau menyangkut waktu dan beberapa keinginan yang pengin kalian penuhi, apapun itu. Tenaga bisa kalian kumpulkan, uang bisa kalian cari, tapi kalau waktu udah terlanjur terbuang, kalian ngga akan bisa memutarnya kembali.

Jatah cuti masih ada? Ambil buat liburan! Jangan jauh-jauh, ngga usah niru orang-orang yang di Instagram. Kalian bisa staycation di hotel, AirBnb atau guesthouse di Bogor. Kalian bisa menghabiskan waktu seharian sama orang tua, adik maupun kakak. Kalian bisa manfaatkan waktu dengan baca buku di coffee shop. Kalian bisa pergi ke museum. Kalian bisa pergi ke puncak Monas kalau belum pernah. 

Kalau kalian merasa Jakarta sudah membuat kalian kehilangan kewarasan, pikir lagi. Apakah Jakarta kota yang benar untuk kamu tinggali seumur hidup dan membuat kalian lupa dengan ketidakwarasan kalian karena gaji yang besar?

Mengartikan Kesempurnaan Dalam Persahabatan

$
0
0
Beberapa bulan lalu, aku dan salah satu sahabatku (cowok) berdiskusi tentang kesempurnaan versi kami. Memang, apa yang kita dapat di dunia ini tidak melulu soal apa yang kita pengin, tapi apa yang kita butuh. Berhubung usia kami saat itu sama-sama di penghujung usia 20 tahun alias menjelang usia 30 tahun, maka kami membahas soal pasangan dan hubungan. Aku sendiri masih males pacaran serius sejak empat tahun lalu, sedangkan sahabatku sendiri punya pacar dan hubungannya sudah berjalan selama empat tahun tetapi merasa monoton selama setahun belakangan karena kurangnya komunikasi. Kami berdua punya alasan masing-masing kenapa kami belum mau menikah, masalahku cenderung ke perihal kompromi karena aku masih punya beberapa hal yang pengin aku kejar, sedangkan dia cenderung ke perihal komitmen karena dia merasa hatinya belum bisa menetap untuk satu orang. 

Kalau ditanya soal pasangan ideal, jawabanku pasti lebih condong ke penampilan secara fisik. Sedangkan kalau mau realistis, penampilan secara fisik ngga akan aku utamakan, semua balik lagi ke sifat dan sikap selama menjalani hubungan, dan yang utama adalah bisa memberi rasa aman dan nyaman yang sekiranya bisa bertahan selamanya, buatku, itu adalah arti dari kesempurnaan. Sedangkan sahabatku yang satu ini, dia tidak mencari kesempurnaan dalam pasangan maupun dalam hubungan, yaaa mungkin karena dia belum ada keinginan untuk menikah meskipun sudah empat tahun pacaran, atau dia sendiri punya arti lain dalam kesempunaan itu sendiri.

"Find a partner who can talk about anything because beauty can fade, sex can be boring, in the end all you can do is talk" - @torantula

Mungkin beberapa dari kalian melihat akun-akun seleb di Instagram yang udah berkeluarga. Di foto selalu terlihat kompak, anaknya menggemaskan, dan terlihat bahagia nan sempurna. Contoh, Andien. Aku kenal Andien secara personal dan pernah lihat Kawa secara langsung, dan ya, sosok seorang mas Ippe adalah sosok laki-laki yang cukup bikin aku kagum. Bukan karena penampilan fisiknya, tapi karena rajin beribadah. Siapa yang ngga pengin punya pasangan seperti itu? Tapi ingat, itu Andien, penyanyi. Dia mendapat mas Ippe sebagai pendamping hidup karena Andien butuh sosok seperti itu. Buat orang lain? Belum tentu ingin punya pasangan seperti mas Ippe, atau seperti Andien.

Aku pribadi lebih ngefans sama Diego, adiknya Andien. Dia seorang pelari ultra, pesepeda, dan juga seorang petualang, coba cek akun @diegoyanuar di Instagram. GMZ AQUTU~ *eh maap salah fokus*. Lanjut!

Aku percaya bahwa pada nantinya kita akan mendapatkan pasangan yang sesuai kebutuhan, memang tidak sempurna di mata Tuhan tapi (bisa terlihat) sempurna di mata kita. Aku dan sahabatku berpendapat, komitmen dan kompromi adalah dua hal yang berisisan dan sangat susah dipertemukan, tapi kalau diperjuangkan dengan usaha yang cukup, semuanya menjadi mungkin, dan kata "susah" akan hilang. Dan buatku, sempurna dalam hubungan adalah komitmen dan kompromi bisa jalan beriringan, meskipun nantinya antara komitmen dan kompromi akan timpang meskipun ngga memakan waktu lama dan butuh usaha yang keras agar kembali seimbang. 

Ngga sekali aku merasa nyaman dengan sahabat sendiri karena komitmen dan kompromi bisa berjalan seimbang dan mulus, hanya saja ada beberapa hal yang menghalangi kami untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, misalnya beda agama, beda suku, dan beda status (akunya ngga punya pacar tapi dianya punya atau sebaliknya. KHAN KZL YA SIST!)

Ngomong-ngomong soal rasa nyaman, beberapa teman sengaja mempertahankan hubungannya karena sudah terlanjur nyaman meskipun ngga tau bakal berakhir di pelaminan atau ngga dan itu pun mereka sudah membicarakannya di awal atau di tengah-tengah hubungan biar punya "Plan B" dan ngga berharap banyak, tapi ada juga yang sengaja mempertahankan hubungan karena sudah berjalan lama, kasarnya sih "sayang aja harus putus karena udah berjalan lama" padahal banyak masalah yang menumpuk tanpa solusi, dan pada akhirnya bisa meledak kapan saja dan menyakiti satu sama lain. Bukannya bertambah dewasa dengan belajar dari kesalahan-kesalahan yang ada, menumpuk kenangan buruk? Iya banget.

Jujur, hubunganku dengan sahabatku yang satu ini bukan persahabatan biasa. Dia menerjemahkan hubungan persahabatan yang makin intens selama empat bulan terakhir menjadi sebuah platonic love (begitu dia menyebutnya, yang mana aku baru apa artinya sekitar 2 minggu lalu dan dia cuma bisa kesal). Bisa dibilang, dia adalah orang yang aku butuhkan di saat-saat aku di ambang depresi beberapa bulan belakangan. Aku hanya bisa terbuka ke dia, dari masalah keluarga, masalah kuliah, hingga masalah kami, sayangnya, pemicu anxiety problem terbesarku ada di dia. Ngga sekali koq aku meminta waktu untuk sendiri, awalnya dia kaget dan khawatir akan kehilangan aku sebagai teman dekat atau sahabat, tapi aku meyakinkan dia bahwa aku ngga akan kemana-mana, aku hanya butuh waktu untuk bernafas, dan aku rasa dia mulai terbiasa kalau panic attack ku kambuh lagi sedangkan kami sedang tidak berada di satu tempat yang sama, jadi aku harus menenangkan diri sendiri dengan cara apapun. 

Suatu hari kami berandai-andai, bagaimana kalau suatu hari aku menikah dan harus pergi jauh dari Jakarta atau Indonesia untuk memulai hidup baru. Dia hanya bisa pasrah karena kalau aku sudah menikah, aku akan punya kehidupan sendiri. Untuk saat ini dia masih bisa bernafas lega karena aku belum ada niat untuk menikah, tapi dengan adanya platonic love yang dia rasakan, aku sadar bahwa aku harus menjaga jarak, karena semakin besar rasa nyaman yang ada, semakin sakit hatilah aku karena aku seringkali lupa bahwa dia punya pacar. Memang, rasa nyaman itu brengsek koq, bisa membuat kita lupa daratan.

Jika menyampingkan platonic love yang ada, persahabatan kami bisa dibilang sempurna. Kami menyisihkan waktu sesering mungkin untuk bersama, berbagi tertawa, menunjukkan amarah, mencari solusi dari masalah yang ada, dan masih banyak lagi. Kami juga saling mendukung, tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan tindakan sederhana seperti makan siang bareng di saat aku jam istirahat kuliah dan di saat dia jam istirahat kerja, atau sekedar menemani dia ngopi di akhir pekan dengan laptopnya serta obrolan yang ngga tentu topiknya apa, iya, kami serandom itu. Iyah, persahabatan kami sempurna, tapi untuk menjadi sepasang suami istri seumur hidup, kami berdua sama-sama menolak dengan ungkapan "Uuuhmmm, no, I don't think so". 

Aku semakin yakin dengan ungkapan itu setelah seseorang bisa memberiku pelukan terhangat dan ternyaman dalam hidup, karena setelah aku dan sahabatku mencoba kembali untuk membangun batas yang sebelumnya didobrak karena ego, aku semakin yakin, orang yang bilangnya sayang dan ingin menjaga sepenuh hati, ngga akan tega untuk menyikiti sedemikian rupa. Setidaknya, setelah aku bertemu dengan pemberi pelukan itu, aku mulai bisa membangun batas yang tinggi dan kokoh, perlahan-lahan aku berjalan membelakangi sahabatku dan aku mulai belajar untuk berjalan sendiri setelah sekian lama aku bergantung kepada dia dan kembali berusaha melihat dia sebagai teman baik atau sahabat, seperti yang dia harapkan, tidak ada kata putus dan tidak ada kata kehilangan. 

Kayaknya gampang ya, melepas sahabat dengan cinta platonik yang sudah terlanjur ada, tapi kalau jadinya saling menyakiti, bukan saling memberi arti, buat apa dipertahankan?

Sekali lagi, terkadang nyaman memang brengsek.

Expecto Patronum: Semoga Ini yang Terakhir

$
0
0

Bukan, ini bukan tulisan tentang keputusasaanku akan hidup, tapi berharap tulisan ini adalah tulisan terakhir yang menceritakan tentang aku dan anxiety problem. Karena semakin banyak aku cerita dan terbuka tentang itu, kepalaku bisa kembali sakit karena mengingat hal-hal yang tidak seharusnya aku ingat, termasuk reaksi orang tuaku saat mereka tahu tentang tattooku. Tapi aku akan bercerita sedikit tentang makna di balik tattooku ini.

Penggemar Harry Potter pasti tahu gambar di atas. Iya, itu The Deathly Hallows, film terakhir Harry Potter yang paling aku suka dan tanduk itu adalah bagian dari tanduk Patronusnya Harry Potter, yaitu rusa. 

Aku pengin punya tattoo sejak 2-3 tahun lalu tetapi tidak dapat izin dari kedua orang tua dengan alasan aturan agama, tapi yang namanya kepingin banget ya tetep bikin. Lalu, kenapa Patronus rusa milik Harry Potter? Sebenarnya aku bisa memakai Patronusnya siapa aja karena pada dasarnya Patronus charm digunakan untuk mengusir atau menghalau Dementor atau Death Eater, tetapi setelah dipikir-pikir, untuk desain tattoo, rusa lah yang paling pas. 

Buatku, Dementor adalah anxiety problem yang aku hadapi sejak tahun 2015 dan Patronus adalah bentuk dukungan teman-teman buatku untuk membuatku tetap kuat, dan untuk tetap hidup. Seperti di beberapa tulisan sebelumnya, aku bercerita bahwa anxiety problem hampir membuatku ingin bunuh diri karena sudah merasa tidak sanggup lagi menghadapi semuanya sendirian. Dalam hal itu, aku butuh dukungan yang nyata, bukan ceramah, apalagi nasihat sok tau, tapi dukungan sederhana seperti peluk dalam waktu singkat dan orang-orang yang bersedia mendengarkan ceritaku atau bahkan mau menyeka air mataku ketika aku kembali ingin menyerah tanpa banyak bertanya. 

Kembali membuka diri untuk orang lain itu sulit, sangat sulit. Kalau pun aku ingin mencoba, rasa takut akan penolakan dan pengabaian jauh lebih besar. Di situ aku kembali "dikalahkan", tapi masih ada kekuatan entah dari mana datangnya yang membuatku terus bertahan. Babak belur rasanya. Ada masanya di mana aku ingin tidur dan tidak bangun lagi. Masalah yang aku hadapi bukan masalah sepele seperti kehidupan percintaan anak remaja yang mana aku bisa menangis beberapa hari, kemudian aku lupa kenapa aku menangis. Tidak, yang aku hadapi jauh lebih berat dari itu, dan beragam. 

Aku mencoba keras untuk memulihkan diri dari babak belur yang disebabkan oleh banyak hal, termasuk rasa patah hati ketika orang yang bisa membuatku kembali ingin berkomitmen ternyata tidak sejalan. Buku pemberian dari dia hanya terpajang di rak buku, dan ajaibnya kami kembali berteman baik seperti sebelum konflik itu terjadi meskipun ada masanya di mana aku kembali teringat rasa patah hati yang amat sangat, dan aku bertekad suatu hari nanti aku harus lepas dari orang itu, bagaimanapun caranya seperti apa yang teman baikku bilang:

Adalah sebuah pertaruhan ketika aku memutuskan untuk memulai cerita dengan orang baru yang pasti lebih baik dan orang itu memiliki semua yang aku butuhkan tapi sayang, masa lalu tidak rela ditinggal begitu saja meskipun aku (bisa) tega. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, melakukan apa yang aku suka tanpa memedulikan omongan orang lain, lalu pergi secepatnya dari sini.

Viewing all 152 articles
Browse latest View live


Latest Images